PEREMPUAN-PEREMPUAN MINORITAS

“perempuan merupakan pembangun peradaban,tidak hanya memiliki kecantikan fisik tetapi juga kecantikan hati yang terpancar dari dalam.  selain aspek tersebut perempuan juga harus memiliki kecerdasan intelektual dan spritual dan emosional yang diperlukan untuk mendidik anak-anaknya kelak.”

Perempuan, Orang-orang di luar sana memandang keberadaanmu dengan beraneka macam.Mereka memandangmu dengan buruk,lemah atau bahkan tidak proporsional.
Menganggap dirimu hanyalah sebagai pelayan laki-laki,memuja dan memujimu hanya sebagai pelampiasan untuk memuaskan nafsu syahwat. Lantas masihkah kita sebagai perempuan  terus-terusan dianggap seperti itu ?  PERLU BAGIMU UNTUK MENGENAL HAKIKAT DIRIMU AGAR TIDAK TERJEBAK DALAM ARUS ZAMAN YANG MELENAKAN INI.
Maka perlu untuk membina kepribadian diri meski harus menjadi minoritas diantara perempuan yang sebenarnya mayoritas.
Bagaimana jadinya  ketika tidak ada dorongan bagi seorang perempuan untuk mengembangkan dirinya ? Perempuan-perempuan ini merasa sudah tidak  perlu lagi pengembangan  diri karena adanya anggapan bahwa aktivitas perempuan yang paling baik adalah di rumah, mengurus suami dan anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan kegiatan lain yang sifatnya domestik. Di sisi lain, perempuan masa kini dituntut untuk aktif berkiprah di luar rumah. Apakah itu untuk bekerja, belajar ataupun melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Oleh karena itu  jika perempuan hanya tinggal di dalam rumah saja, maka ia akan dianggap ketinggalan informasi, kurang wawasan, dan kurang pergaulan. Padahal perempuan adalah tonggak yang melahirkan peradaban.
            Begitulah budaya dan anggapan tentang perempuan yang juga berdampak pada eksistensi perempuan di Dunia Kampus khususnya Lembaga Kemahasiswaan yang akhirnya berakibat pada lahirnya perempuan-perempuan minoritas.
Adanya halangan,rintangan dan hambatan tersebut tidak berarti proses pengembangan diri terhenti.sama sekali tidak.
Ketika berbicara mengenai gender, apakah gender ikut mempengaruhi? Apakah ada perbedaan dalam cara laki-laki dan perempuan memimpin sebuah organisasi? Selama ini, kedudukan wanita dalam organisasi bersifat mengerucut. Kebanyakan perempuan hanya menduduki posisi entry level dalam organisasi. Semakin tinggi posisi dalam organisasi, semakin sedikit pula perempuan yang menjabatnya. 
Mampukah seorang perempuan menjadi pemimpin? Pada dasarnya, perempuan memiliki sifat-sifat dasar untuk sukses sebagai pemimpin. Mereka cenderung lebih sabar, memiliki empati, dan multitasking—mampu mengerjakan beberapa hal sekaligus. Perempuan juga memiliki bakat untuk menjalin networking dan melakukan negosiasi.
Hambatan yang menyebabkan perempuan sulit menjadi seorang pemimpin organisasi adalah faktor budaya. Sejak jaman dahulu, perempuan dan laki-laki telah melakukan pekerjaan yang berbeda. Tugas-tugas yang mereka kerjakan membutuhkan keahlian yang berbeda. Faktor budaya ini juga mempengaruhi bagaimana cara perempuan dan laki-laki bertindak dan berpikir.

Ketika perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua, maka perempuan tersingkir dari pemikiran untuk pengambilan keputusan. Untuk menuju kesetaraan gender, masih memerlukan proses bertahap karena keterpurukan perempuan. Ideologi gender sudah mendarah daging dalam masyarakat, sehingga perempuan sendiri tidak dapat membedakan mana yang kodrat dan mana yang buatan sosial budaya manusia. Oleh karena itu konsep kesetaraan perlu dipelajari secara teliti dan kritis agar perempuan memiliki akses dan kontrol dalam menentukan pranata kehidupan melalui keputusan yang dibuatnya. (AP Murniati, 2004)
Perempuan dikatakan mempunyai akses ketika mereka dihargai, diberi nilai dan diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.Penilaian terhadap perempuan ini terwujud ketika dalam semua faktor produksi dan semua aspek kehidupan melibatkan dan memperhitungkan perempuan. Perempuan diperhitungkan dalam kepemilikan tanah, memperoleh pekerjaan, mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, mendapat kesempatan pendidikan, mendapatkan fasilitas pemasaran dan semua pekerjaan publik setara dengan yang diperoleh kaum laki-laki.
Perempuan tidak hanya sekedar mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, tetapi perempuan juga mendapatkan manfaat dari hasil keputusan. Dengan demikian makin jelas, bahwa perempuan yang mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan  saja belum cukup. Ia masih membutuhkan penyadaran feminisnya agar ia mampu memikirkan dan memperjuangkan kepentingan perempuan dan marjinal lainnya, agar mereka mendapatkan manfaat dari hasil keputusan.  
Kepemimpinan dalam Lembaga Kemahasiswaan lebih didasarkan pada faktor jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan, karena laki-laki dipandang lebih bisa berpikir dan bertanggung jawab, sementara perempuan dianggap selalu mengedepankan emosi. dalam berbagai kegiatan, perempuan lah yang sering diminta untuk mengurus konsumsi, sedangkan laki-laki hal lain yang bersifat teknis dan berat. Bahkan yang sering terdapat  di setiap organisasi adalah adanya bidang-bidang tertentu yang diidentikkan dengan bidang perempuan dan bidang laki-laki.  Dalam hal ini perempuan masih di pinggirkan perannya dalam suatu kegiatan, karena diidentikkan dengan urusan makanan saja.  Sehingga perempuan hanya diberikan pada ruang di luar kepemimpinan. 
Hal ini merupakan bentuk nyata adanya ketidakadilan gender berupa peminggiran.  Bagaimanapun perempuan tetap dipinggirkan posisinya pada sesuatu yang tidak penting atau kurang berpengaruh. Kemampuan dan keahlian perempuan kurang dilihat untuk mencapai suatu jabatan. Selain itu hal ini juga menunjukkan adanya penomor duaan, dimana laki-laki menjadi nomor satu atau superior dan perempuan menjadi subordinat atau menjadi orang yang nomor dua. Kenyataan ini bisa dilihat pada aspek kepimpinan dalam suatu organisasi. Sepanjang masih ada laki-laki, maka yang ditunjuk adalah laki-laki yang menekankan pada kualitas personal baik laki-laki dan perempuan. Namun bila sama-sama berkualitas, maka prioritas utama pemimpin haruslah laki-laki. Di samping perempuan belum benar-benar siap untuk disamakan dengan laki-laki, sehingga justru cenderung mempersilakan laki-laki untuk lebih berperan.  Perempuan mengalami hambatan untuk dapat berperan dalam suatu jabatan terletak pada mobilitas. Dimana laki-laki dinilai lebih bisa diberikan kerja teknis yang berat, sedangkan perempuan tidak demikian.
Wujud lain yang merupakan implikasi budaya patriarkhi adalah keutamaan laki-laki sebagai pemimpin. Terlebih lagi dalam hal ini seolah-olah mendapatkan penguatan dari tafsir agama yang diyakini. Meskipun sebenarnya sampai saat ini tafsir agama yang selalu dijadikan patokan dalam memilih pemimpin masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan.
Padahal keingintahuan mahasiswa yang pada dasarnya mempunyai sifat kritis, kesungguhan organisasi dalam melakukan kegiatan yang terkait dengan kesetaraan gender  malah akan melahirkan perempuan-perempuan minoritas akibat budaya-budaya terdahulu.

Untukmu  Perempuan,
Semoga Matamu terbuka bukan karena melihat pakaian-pakaian bagus,
Melek teknologi lupa tanggungjawab menuntut ilmu,
Ingat,orangtuamu menguliahkanmu bukan untuk menghambur-hamburkan uang,pamer fashion untuk disebut KEKINIAN,bukan.
Orangtuamu hanya ingin melihatmu menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi banyak orang lain.

Semoga hati kita terketuk !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup