Menentukan Arah

Di tempat ini,
Saya dipertemukan dengan orang-orang sholih (ah) in sha Allah yang pada akhirnya menjadi salah satu asbab mendapatkan hidayah

Pemikiran yang liberal saat itu menyeret saya terjerumus ke dalam 'Feminism' versi saya sendiri. Bahwa; Kalau laki-laki bisa menjadi pemimpin maka perempuan punya hak yang sama. Pemikiran saya selalu mengarah untuk menyamakan hak-hak laki-laki dan perempuan. Kalau laki-laki bisa, mengapa perempuan tidak? Dengan dalih Al ummu madrasatul ula' (Perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya). Saya selalu bersemangat untuk belajar terutama di panggung organisasi. Bukan kebanggaan menjadi peserta terbaik di tiap event organisasi saat itu, melainkan hanya sebagai pembuktian bahwa perempuan juga bisa. Akhirnya tanpa saya sadari bahwa saya sebagai seorang perempuan ternyata begitu dimuliakan dalam pandangan islam.

Mengikuti rapat pekanan organisasi, rapat pekanan lembaga kemahasiswaan, rapat kepanitiaan dan agenda-agenda organisasi lainnya beberapa hingga larut malam, saat perempuan sudah berada dalam kos-an, asrama, kamar masing-masing sementara kami masih berkutat dengan rapat,  berada dalam satu ruangan yang notabenenya tak ada mahrom kita disana. Hanya ada 2-3 perempuan saja, beberapa laki-laki menghisap rokok ditangannya (meski tidak semuanya begitu). Mungkin pemikiran kita waktu itu masih sama bahwa : tidak apa-apa, ditempat ini kan banyak orang, dia kan teman saya, dia kan pasti menjaga saya

(Ketahuilah bahwa syaitan akan menghasut manusia dari pintu mana saja, semakin ia menjaga diri maka semakin berat godaan syaitan itu)

Pemikiran liberal saat itu kemudian mengantarkan saya untuk maju pada pemilihan ketua umum lembaga @ukmlkmi_ppnp singkatnya saya kemudian terpilih bersama wakil ketua umum @Abdulsetiyahadi untuk menjalankan amanah selama satu periode.

Di tempat ini akhirnya mengubah pribadi saya yang dulunya begitu liberal. bahwasanya perempuan adalah kemuliaan, sudah sepatutnya ia menjaga diri, menjaga maruah, menjaga diri dari ikhtilat-khalwat tetapi  bukan meng-eksklusifkan diri

Di tempat ini, meskipun laki-lakinya beberapa ada yang masih merokok tapi mereka sama sekali tidak pernah memperlihatkan mengisap rokok saat agenda rapat berlangsung bukan hanya karena ini adalah organisasi keagamaan tetapi mereka menghargai perempuan.

Di tempat ini pula, dimana menjaga pandangan, menjaga sholat dan menjaga kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim selalu diingatkan.  Meski pasang surutnya organisasi tetap menjadi masalah bagi organisasi kami.

Beberapa bulan mengemban amanah sebagai ketua umum, kami mencoba terobosan untuk memisahkan bidang ikhwan dan akhwat agar sedikit lebih menjaga dari ikhtilat.

Saya juga memutuskan untuk memakai cadar, agar lebih menjaga diri saya. Dan alhamdulillah sejak pertama kali mengenakannya teman-teman terutama teman sekelas tidak pernah mempermasalahkan perbedaan antara saya dan mereka.
Mereka justru membuka diri dan mendukung keputusan yang saya pilih.

Disini saya merasa bahwa Allah begitu memuliakan saya sebagai seorang perempuan.

Aturan-aturan yang disyariatkan justru bukan untuk mengekang-mempersulit perempuan tetapi untuk memuliakan perempuan.
Hal ini telah saya rasakan sendiri.

Saat kita begitu sibuk-sibuknya mengurus keperluan organisasi tapi kewajiban sebagai seorang muslim tetap dijalankan. Begitu seharusnya.

Ditempat ini saya kemudian dibenturkan antara memundurkan diri atau tetap melanjutkan amanah dengan kuantitas beberapa pengurus saja. Kemudian dikuatkan untuk tetap bertahan.

Di tempat ini,  saya bertemu dengan jodoh saya in sha allah yang kini menjadi suami saya.
Laki-laki yang awalnya mengirim akhwat untuk menyuruh saya memberikan amanah sebagai ketua umum itu kepada wakil ketua umum untuk berganti posisi. Tapi saat itu saya bersikeras untuk melanjutkan amanah hingga akhir.

Laki-laki yang kini menjadi suami saya adalah laki-laki yang pertama kali melihatnya saat kegiatan study islam intensif. Tak ada yang istimewa diantara kami saat itu. Dia senior dan saya adalah juniornya yang sedang diembankan amanah sebagai ketua umum. Itu saja!

Di tempat ini, barangkali saya tidak mendapatkan upah. Tapi saya mendapatkan doa. Doa yang begitu berharga yang semua orang begitu mengharapkannya.
Doa agar diberikan hidayah dan doa agar senantiasa diistiqomahkan dalam kebaikan.

Di tempat ini, saya tertampar bahwa kemulian yang dimiliki seorang perempuan bukan untuk menandingi, menyaingi bahkan menyamaratakan seorang perempuan dan laki-laki.

Dian Rahmana Putri
(Sragen, 14 Februari 2019)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup