Cinta Siti Hajar




“Hendak ke manakah, wahai Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apa pun?” kata Siti Hajar kepada Nabi Ibrahim.

Mereka berjalan hingga ke tempat yang tandus pun panas. Di sebuah lembah yang hanya ada batu dan pasir.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasan Siti Hajar saat itu. Seorang wanita yang baru saja melahirkan anak laki-laki dambaan suaminya. Malah ia dibawa pergi ketempat tandus tanpa ada satu orang pun. Dan dengan pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya.

“Hendak ke manakah, wahai Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apa pun?” ulang Siti Hajar. Nabi Ibrahim masih bungkam.

Ia berjalan terus tanpa menoleh atas panggilan istrinya itu. Saya membayangkan langkahnya gontai, mungkin pula hatinya tak tega.

Ibrahim masih saja membisu. Lantas Siti Hajar mengganti pertanyaannya, “Apakah Allah yang menyuruhmu berbuat demikian?”

“Benar,” jawab Ibrahim.

“Jika demikian, maka Allah tak akan menelantarkan kami.”

Siti Hajar lalu berbalik. Sedangkan Ibrahim melanjutkan perjalanannya.

Inilah perpisahan yang sangat memilukan bagi keduanya. Nabi Ibrahim sadar bahwa semua ini adalah perintah Allah yang harus ia jalankan. Dengan berat hati ia berjalan hingga sampai Tsaniah, ditempat dimana istri dan anaknya tak lagi bisa melihatnya.

Bagaimana perasaan Nabi Ibrahmi kala itu? Saya tak tahu. Namun kita bisa membayangkan betapa berat beban yang harus ia emban sebagai Rasul. Betapa teguh dan kokohnya iman dan keyakinan Ibrahim atas ketentuan Allah.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi rumah-Mu yang suci. Mudah-mudahan mereka berterima kasih,” itulah doa yang diucapkan Nabi Ibrahim saat meninggalkan anak dan istrinya.

Sementara itu, Siti Hajar menyusui Ismail kecil dan minum dari tempat perbekalannya. Setelah air itu habis, ia masih kehausan. Demikian juga Ismail. Ia menangis. Berguling-guling. Minta air. Padahal tak terlihat tanda-tanda air di padang pasir dan berbatu itu.

Ya, Allah. Ibu mana yang tega melihat anaknya menangis.

Ia lalu pergi mendaki Bukit Shafa. Mencari-cari pertolongan. Tidak ada seorang pun. Bahkan tak terlihat sebatang pohon pun ditempat itu. Siti Hajar lalu berlari mendaki bukit Marwah. Nihil. Hasilnya sama saja.

Ismail terdengar masih menangis.

Bila saya berada di posisi Siti Hajar, tentu saya akan bingung. Bertanya-tanya, apa yang mesti saya lakukan? Bagaimana mencari air di tempat yang gersang ini? Ditempat yang hanya ada batu dan pasir?

Mungkin saya akan duduk. Sambil menangis. Karena tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.

Namun Siti Hajar tidak. Ia terus saja berusaha mencari air untuk Ismail. Ia berlari dari bukit Shafa ke bukit Marwah terus menerus. Hingga tujuh kali.

Tak dinyana ternyata pertolongan Allah datang di tempat yang tidak terduga. Air itu tiba-tiba keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang sedang menangis. Bukan di jalur antara bukit Shafa dan Marwah, bukan ditempat dimana Siti Hajar mencarinya. Tapi air itu mengalir dibawah kaki Ismail..!

“Kok ya gak dari tadi tho, kenapa mesti berlari-lari dulu sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwah,” mungkin saya akan berkata begitu. Namun dari kejadian ini saya mengerti bahwa, tugas kita hanya berusaha maksimal dan pertolongan Allah bisa datang dari tempat yang tidak disangka-sangka.

“Zamzam, zamzam. Berkumpul-berkumpul,” kata Siti Hajar takjub dan gembira. Ia segera membuat kolam kecil agar air -yang kini dikenal sebagai air zamzam- tak lari kemana-mana. Ia minum dengan penuh rasa syukur lalu menyusui Ismail.

Di lembah tandus itulah kemudian saat ini orang-orang pada berkumpul. Banyak orang yang kemudian berkumpul dan menetap di lembah itu.

Ismail tumbuh menjadi anak cerdas. Penuh bakti kepada ibu dan ayahnya. Saat ia akan dikurbankan oleh Nabi Ibrahim aras perintah Allah, ia tak menentang. Tapi melakukannya dengan penuh keimanan. Setelah dewasa ia diangkat menjadi Rasul.

Dan peristiwa yang dialami Siti Hajar ini kemudian diabadikan oleh Allah dalam rukun haji. Dan peristiwa pengorbanan Ismail kita kenang selamanya dalam hari raya idul adha. Pengorbanan yang sungguh besar dilakukan oleh keluarga Ibrahim. Dan itu dilakukan dengan penuh keimanan pada Allah dan penuh kecintaan pada anaknya.

Cinta.

Ya, inilah kekuatan emosi yang bisa membuat orang melakukan apa pun. Dan dari Siti Hajar kita belajar untuk menjadi seorang ibu yang penuh cinta. Hati yang penuh rasa cinta kasih, kata sebuah artikel, dan mampu mencurahkannya untuk orang-orang yang dikasihinya. Sesungguhnya sifat inilah yang Allah kehendaki bertakhta di hati kita agar kita mampu mendidik anak-anak sehingga mereka tumbuh cemerlang.

Anak-anak yang sukses, kata Fauzil Adhim, pakar parenting, bukanlah dibesarkan oleh orangtua yang hebat ataupun cerdas melainkan oleh orangtua―terutama ibu―yang penuh cinta dan tulus dalam mendidik anak-anaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup