Satu Akar Sepasang Pohon
Belum ada sapaan atau sekedar senyuman dari
masing-masing kita, meski pada hakikatnya dalam sembunyi dan cerita
kerinduan kita masih terpaku dalam haru dengan ketidakmampuan untuk
berbuat apa-apa.
Angin kerinduan telah berhembus melingkup
tengkukmu, tidakkah kau merasakannya? Melalui mereka aku sampaikan
salam-salam berirama kata-kata yang tak mampu kukatakan dengan kelunya
bibir ini ketika di hadapmu. Sepoinya melingkari batang tubuhmu,
memastikan pori-porinya terisi dengan segala turbulensi yang membuatmu
merasa penuh, sesak dengan cerita keterpisahan ini.
Aku yakin
kamu mengerti, kita pada masa ini layaknya sepasang pohon yang terpisah
jarak namun berada pada akar yang sama. Diam-diam menghidupi, tanpa
bicara saling mengisi.
Tak akan pernah ada perlakuan dan
pembicaraan tanpa ada pertemuan, sedangkan jika kita memaksa untuk
bergeser dan saling menatap, maka hancurlah akar-akar kehidupan kita.
Aku dan kamu. Maka, hanya dengan cara inilah kita hidup, dalam diam
saling menumbuhkan walau tak kuasa atas tanah tempat kita terpendam,
karena hanya di dalam tanah kita dapat hidup. Akar kita tak seperti
pohon beringin, kuat jika ditebas angin dan hujan saat malam, tetapi
akar kita terlalu lembut, cukup banyak kita mengumpulkan unsur hara
untuk bertahan hidup. Karena ini bukan tentang diri sendiri, ini
mengenai bagaimana keikhlasan untuk saling berbagi walau tak ada yang
mengerti kapan keterpisahan ini akan berhenti dengan pasti.
Tak
adakah pengorbanan yang melebihi sepasang pohon berjauhan dalam ritme
hidup yang sama bertahan tanpa saling memutus akar kehidupan? Melalui
angin kita berbagi, bersama udara kita merasa, dan dengan
sentuhan-sentuhan kecil kumbang serta kupu-kupu yang menemani perjalanan
kita untuk saling mengantar putik dengan mesra meski malu-malu
mengakuinya.
Kitalah pohon yang saling menemani dan mengisi, mungkin hanya dengan cara inilah kita bisa bersatu. ®
@
Galih Satrio Nugroho
taken by
Komentar
Posting Komentar