Saat Hidayah Ucapkan Selamat Tinggal


"Ukhti, kalau ada yang harus hancur, jangan biarkan yang hancur adalah amanah dakwah, atau hubungan kita dengan orang tua, atau masalah akademik kita. Jika ada yang harus hancur, maka ia adalah diri kita sendiri, jangan korbankan yang lainnya!"

"Bersyukurlah ukhti, karena setidaknya, meskipun dengan bersusah payah, ukhti masih punya keinginan untuk tetap menuntut ilmu syar'i dan tergabung dalam barisan dakwah di tengah aktivitas kuliah ukhti yang padat itu masih lebih baik dibandingkan dengan orang yang meninggalkan jalan ini sama sekali." 

Dua buah perkataan di atas sengaja saya tuliskan disini agar siapapun yang membacanya dapat mengambil manfaat darinya, dan orang yang mengucapkannya dulu pada saya juga mendapatkan pahala atas apa yang beliau sampaikan itu. Mungkin, bagi kedua akhwat yang mengucapkannya, perkataan mereka tersebut bukanlah sesuatu yang spesial. Mungkin pula, mereka sudah lupa dengan hal itu. Tapi, bagi saya yang mendengarkannya di saat memang saya membutuhkan kata-kata itu, saya rasa saya tak akan pernah melupakannya. 

Hal lain yang membuat saya semakin tak dapat lupa adalah, sebab saat saya kembali melihat barisan dakwah tempat saya berdiri sekarang, saya tak lagi mendapati wajah mereka di sana. Saya tak pernah tahu dengan jelas atas alasan apa mereka memilih mundur. Itulah juga salah satu hal yang membuat saya tidak ingin tergesa-gesa memberikan cap negatif pada mereka. Sebab bisa jadi, buat mereka melakukan hal itu adalah karena campur tangan saya juga. Mungkin, ada kesalahan kecil dari saya yang membuat mereka pergi. Mungkin sebab seulas senyuman yang terlupa, atau masing-masing kami terlampau sibuk dengan urusannya sendiri. Wallahu a'lam. 

Dulu, semasa SMA, saya pernah merasakan hal yang sama. Saat barisan dakwah yang kecil dan sederhana itu -yang diisi oleh sekelompok muda belia yang teramat sangat dangkal ilmunya, namun sangat besar semangatnya untuk melanjutkan perjuangan para rasul- menyampaikan risalah Islam ini. Saat itu, konsep mundur dari jalan dakwah dapat dibaca dari jarangnya hadir di mushola, tidak pernah tampak pada musyawarah kami yang sangat sederhana, ataupun dengan menjauhnya dari komunitas akhwat. Saat itu, saya pernah melihat sebuah fenomena seorang akhwat yang menjauh hingga akhirnya menjadi teramat jauh. Sayangnya, akhwat itu adalah iya yang dulunya begitu bersemangat dan saya yakin bukan hanya menularkan semangatnya itu pada saya saja, tapi juga pada yang lain. 

Mengingat bahwa kami bersama-sama memulai perjalanan ini dari titik yang sama. Dari seorang remaja polos yang mencari jati diri, hingga menemukannya di mushola kecil itu. Sedikit demi sedikit menata busana agar tak hanya tampak "rapi" dihadapan manusia, juga di mata Allah. Perlahan tapi pasti berupaya berkomitmen dengan semua majelis ilmu yang kami hadiri. Hingga rela pulang sore karena harus menyelesaikan urusan proker rohis. Mengingat itu semua, saya begitu teriris melihat keadaannya sekarang. Bahwa sekarang kami tak lagi berada di jalan yang sepi itu. Ia pergi.

Hingga waktu semakin berlalu.  Kepengurusan dakwah pun semakin kompleks. Bukan hanya sekadar urusan satu sekolah tempat Kami belajar, namun lebih luas lagi. Kami sudah dapat menyebut bahwa apa yang kami lakukan ini untuk kemaslahatan umat. Namun, rupanya fenomena itu tetap saja ada. Fenomena bergugurannya orang-orang di jalan yang sepi, saat mereka menemukan persimpangan yang mungkin jauh lebih nyaman jalannya, dan lebih ingar-bingar dengan manusia. 

Semakin berjalan ke depan, semakin banyak yang kemudian memilih mundur. Dan kembali lagi terulang, bahwa banyak dari mereka yang pergi justru adalah orang-orang yang pernah membekaskan semangat mendalam dan spirit pada saya untuk terus bertahan. Orang yang pernah membuat saya mengalami "aha-momen", saat saya menemukan kembali titik-titik cahaya dari apa yang mereka lakukan atau apa yang mereka katakan. 

Saya memang bukanlah orang yang lurus. Bukan pula orang yang selalu Istiqomah dengan semua yang harus saya hadapi saat memilih jalan ini. Mungkin, saya adalah orang yang paling sering merasa down dan berpikir untuk mundur sebelum perjuangan berakhir. Tapi melihat diri saya tetap bertahan meski dengan nafas yang satu-satu dan segala kesalahan serta kelalaian di jalan ini membuat saya merasa betapa Allah begitu baik pada hamba-Nya yang hina ini. Bagaimana Allah masih mempercayakan hidayah ini pada saya. Mempercayakan jilbab ini untuk tetap saya kenakan. Mempercayakan saya untuk tetap pada amanah yang saya pegang ini. Seburuk apapun saya. 

Memikirkan dan menghitung-hitung orang-orang hebat yang kemudian memilih mundur itu, membuat saya kadang merasa takut dan terus bertanya-tanya: sampai kapan Allah akan terus percaya pada saya? Akankah saya juga akan mengalami hal yang sama seperti mereka yang pergi? Saya khawatir dengan masa depan, akankah saya akan tetap seperti ini? 

Tapi, terlepas dari itu semua. Terlepas dari alasan apapun yang membuat mereka memilih mundur dan menghilang. Saya yakin mereka telah menorehkan banyak cahaya pada banyak hati. Mereka telah memiliki unta-unta merah yang setiap amalannya akan berimbas pada mereka. Unta merah itu termasuk pula saya. Dan itu tidak akan pernah berubah seperti apapun mereka berubah. Meski sebenarnya, dengan tetap berada di sini, mereka akan selalu punya kesempatan yang lebih untuk memenuhi pundi-pundi amal mereka, untuk perbekalan perjalanan panjang menuju kampung akhirat. Tapi mereka telah memilih. Mereka telah pergi. 

Namun barisan ini akan terus menunggu, siapapun, untuk datang kembali. Meski semuanya berpulang pada kehendak sang ilahi. Apakah kepercayaan itu akan datang dua kali? Wallahu a'lam. 

Tapi saya terus berharap, selama nafas berhembus, saya tetap berada di jalan ini semoga. 

Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ala diinika. 


****

Bumi Allah, Desember 2022

Merajut Benang Cahaya, Arrifa'ah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup