Khadijah dan Nafisah

Melalui Sirah Nabawiyyah yang kerap kita kaji, atau beberapa buku yang mengisahkan perjalanan cinta Nabi kita, Muhhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam; tak ada yang luput dari nama dua perempuan mulia ini. Khadijah dan Nafisah. Seolah, Allah menginginkan, gaung pesan itu sampai kepada perempuan-perempuan setelahnya. Kira-kira, pesan apa, ya?
.
Sore itu, dua orang wanita melangkah ke arah salah satu distrik di Makkah. Keduanya mekar dalam canda dan bincangnya wanita. Bukan perkara yang asing di telinga kita; Cinta
.
“Kulihat wajahmu mendung,” Sela Nafisah, “..apakah kau menyembunyikan sesuatu–atau sekedar dugaanku saja?” sambungnya
.
Khadijah diam, ia tercekat. Seolah kaget, sebab keadaan jiwanya dengan mudah terbacaoleh sahabatnya
.
Dengan lembut serta penuh kehangatan, Nafisah berkata, “Katakan padaku, sahabatku.. siapa tahu aku bisa membantu menghapus kesedihan yang kau sembunyikan dariku..”
.
Khadijah menarik nafas dalam,
“Baiklah.. semua itu, karena keinginan yang kacau dihatiku.”
.
Nafisah bertanya-tanya, “Orang sepertimu masih dihinggapi keinginan yang kacau?”
.
Benarlah, memang apa yang membuat perempuan semulia Bunda Khadijah diusik keinginan yang membuat hatinya kacau? Ia adalah perempuan terhormat dikalangannya, bernasab mulia, bahkan laki-laki seolah antre berharap Bunda Khadijah menjadi istrinya. Maka keheranan tersebut pun sampai kepada sahabat terbaiknya, 'orang sepertimu masih dihinggapi keinginan yang kacau?’
.
“Masalahnya tak sesederhana yang kau duga,” kilahnya menyangkal sambil mengangkat sebelah tangan dan kemudian meletakkannya diatas wajah sahabatnya
.
“Lalu?” Tanya Nafisah
.
Khadijah lama terdiam, kemudian ia bertanya kepada Nafisah, “Apa pendapatmu tentang Muhammad?
.
Pertanyaannya memecah kesunyian, tabir itu seolah terbuka lebar dihadapan Nafisah. 'kekacauan inikah yang sedang menyergap sudut-sudut hatimu sahabatku?’ barangkali kalimat itulah yang terpantik dihati Nafisah
.
"Kenapa kau bertanya begitu? Memang, apa pedulimu?” Telisik Nafisah
.
Keduanya terbelenggu dalam sunyi. Bukit pun turut menjadi saksi, betapa berat perasaan yang sedang Khadijah rasakan sendiri
(more via comment)aviliaarmianiPerasaan semacam rindu, bahkan lebih dari itu. Cinta, bahkan lebih dari itu
.
“Tetapi…” Nada Khadijah berat, “..mana mungkin aku dengan Muhammad? Dia pemuda belia, dimuliakan kaumnya
.
Nasabnya pun bersih. Sedang aku, wanita yang sudah tua, janda yang dua kali bersuami. Apakah mungkin ia menerimaku?” Ujar Khadijah
.
Dengan segera Nafisah menyanggah, “Tidak, Khadijah! meskipun kau sudah berumur, di tengah kaummu kau tetap memiliki tempat terhormat. Nasabmu agung, kau juga tampak muda dan kuat. Seperti masih berusia tiga puluh atau bahkan dibawah itu. Dan jangan lupa, tidak sedikit orang yang melamarmu, membincangkanmu setiap hari, tetapi mereka kau tolak.”
.
Kelegaan menyusup kedalam hati Khadijah, seolah kesempitan itu sedikit melonggar. Ia dapat bernafas dengan lebih ringan. Ucapan Nafisah menyejukkan jiwa dan menumbuhkan harapan bahwa mimpinya akan menjadi kenyataan. Atau paling tidak, ia sudah menumpahkan perasaan yang selama ini menindih jiwanya
.
Hingga tibalah pada kalimat, “Serahkan padaku!” Nafisah menepuk-dadanya
***
Aduhai, indah nian persahabatan dua wanita ini. Dalam beberapa episode, tertuliskan bagaimana Nafisah tetap menjaga kehormatan Khadijah saat menawarkannya pada Muhammad
.
Dengan kecerdasannya, perasaan Khadijah tidak berceceran dari mulutnya. Perbincangan kala itu, tidak senoktah pun mencuat terbongkar. Sahabatnya, adalah bagian dari dirinya. Maka ia paham betul, betapa malu perasaan seorang wanita yang tersampaikan dengan cara tidak beradabaviliaarmianiPersahabatan Khadijah dan Nafisah, patutnya menjadi pembelajaran dan perenungan bagi muda-mudi kini. Ada banyak sekali kuntum mawar yang semerbak wanginya-muncul-dari ikatan kasih mereka. Jiwa keduanya seolah berada pada satu kalimat utuh, yang saling menjalin diantara keduanya
.
Sebuah nilai paling berharga didalam persahabatan adalah perasaan saling mengerti dan menjaga. Keduanya berperan untuk menjadi bahu ternyaman disaat dunia dengan tidak ramah menyakiti salah satunya. Bukan sebaliknya, menjadi pihak kedua, yang menambah nanar, luka di hati sahabatnya
.
Dari kisah ini pun, kita menjadi tahu. Bahwa megajukan diri kepada seorang laki-laki, bukanlah hal yang hina dan tidak terpuji. Kita boleh, akan tetapi, kita harus paham betul; bahwa laki-laki tersebut adalah laki-laki yang kokoh imannya, agung akhlaknya, dan indah lisannya. Memintanya pun, butuh perantara. Tetap anggun, dan tidak menjatuhkan diri dihadapan laki-laki yang didamba
.
Wanita, kita memiliki tempat-tempat yang tidak seporsi dengan laki-laki
.
Emansipasi, bukan berarti menabrak aturan yang sudah Allah tetapkan kepada kita. Tetap saja berbeda
.
Allah Ta'ala berfirman,“Tidaklah laki-laki itu (sama) seperti perempuan.” {Qs. Ali-'Imran 36}
.
Dan,“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” {Qs. An-Nisaa’ 34}
.
Diantara Khadijah dan Nafisah, Allah ikat nama keduanya dalam sejarah. Bahwa persahabatan yang berlandaskan iman, tentu akan melahirkan ketentraman. Satu jiwa dalam dua tubuh, satu makna berkah dalam ribuan rintik hujan. Selamat merajut makna, semoga kita senantiasa mampu menjadi sebaik-baiknya sahabat bagi sahabat kita. Sepasang mata kasih sayang, tangan-tangan kasih sayang

Catatan: Kalimat percakapan yang berada dalam tulisan adalah resume dari dialog yang ditulis oleh Dr. Nizar Abazhah (semoga Allaah merahmati beliau) dalam bukunya; Bilik-Bilik Cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup