Yang lebih elegan dan berat daripada galau?
Hari itu hati Musa guncah, retak, dan pecah. Kegalauan menyelimuti hatinya, kegalauan yang tak pernah musa bayangkan, kegalauan sebab amanah dakwah yang turun hanya pada manusia pilihanNya. “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”, kata musa dalam doanya yang melegenda sepanjang massa. Sebuah keteterimaan dan bukannya sebuah penolakan ketika tugas berat jatuh pada pundaknya. “Pergilah kepada Fir’aun; Sesungguhnya ia telah melampaui batas“. (QS. Thaha: 24). Allah swt memberi tugas untuk berdakwah kepada Fir’aun yang saat itu dengan kecongkannya dan kesombongannya Fir’aun mengklaim dirinya ‘ububiyah ilahiyah’ bahwa dirinya adalah Rabb dan pantas untuk disembah.
Respon yang elegan atas kegalaun dicontohkan oleh Musa ketika menerima sebuah amanah yang sangat berat. Di atas kekurangannya musa tidak mengutuk kegelapan yang ada, tidak pula menggerutu beratnya beban dakwah yang Ia pikul. Tapi “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku”, begitulah pintanya.
Salah satu scene perjuangan dakwah Rasulullah Muhammad Saw juga tak luput dari terpaan ujian. Karena beratnya ujian Rambut Rasulullah saw hingga memutih. Waktu itu istri tercintanya khadijah meninggal dunia, lalu disusul pamannya Abu Thalib yang meninggal berselang satu bulan. Rasulullah saw begitu berduka, sehingga disebut juga tahun tersebut adalah tahun kesedihan “am al-huzn”. Namun tugas amanah dari Allah swt tidak menurun sama sekali, perintah untuk hijrah sudah diturunkan. Maka pada tahun tersebut rasulullah saw mencari tempat untuk hijrah kaum muslim. Hingga sampailah Rasulullah saw di thaif yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari selatan mekkah, namun bukannya sambutan yang didapatkan tapi lemparan batu dan pengusiran yang didapatkan.
“Sesungguhnya”, kata Jibril, “Rabbmu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus Malaikat penjaga gunung ini untuk kauperintahkan sesukamu.” Rasulullah saw memiliki kesempatan untuk membalas seluruh perbuatan orang thaif yang telah mendustakan, mengusir, dan menyakitinya. “Tidak”, jawab Rasulullah saw, “Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tak menyekutukanNya dengan sesuatupun.” Pilihan sikap yang elegan atas kegalauan dan kegucahan hati Rasulullah saw atas sikap orang thaif padanya.
Hari itu adalah hari yang paling berat yang di alami rasulullah saw ketika menjawab pertanyaan istrinya aisyah “Ya Rasulullah, pernahkah kau alami hari yang lebih berat daripada ketika di Uhud?” Maka setelah itu Allah swt menurunkan surat yusuf untuk menghibur Rasulullah saw. Sebuah kisah nyata yang runtut dan penuh kisah drama dengan alur terbaik sepanjang massa yang ibrahnya sebagai motivasi perjuangan Rasulullah saw.
Salah satu scene yang tak kalah mengharukan juga pernah Rasulullah saw lalui. Ketika itu ‘fathul mekkah’ penahlukan mekkah, ribuan kaum muslimin sudah mengepung mekkah dan kaum kafir quraisy sudah menyerah dan pasrah akan hukuman yang akan didapatkannya mengingat perlakuan yang pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw. “Pancung, gantung, atau paling ringan diusir dari mekkah” pikir kafir quraisy pasrah.
Rasulullah saw menaiki bukit dan berkata dengan suara keras "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang". Kalimat tersebut adalah kalimat yang diucapkan nabi Yusuf ketika memaafkan saudara-saudaranya yang membuang dirinya ke dalam sumur yang menyebabkan nabi yusuf hidup sebagai budak, masuk penjara, dan mengalami banyak fitnah, serta yang telah membuat ayah tercintanya buta karena menahan sedih.
Maka sesungguhnya adakah kata yang lebih elegan dan berat daripada galau, untuk menggambarkan keguncahan hati pada manusia pilihan Allah swt tersebut?
Maka selanjutnya tanyakan pada diri kita, sudahkah elegankah kegalauan kita? Sudahkah elegankah sikap kita atas hal tersebut?
Mungkin dalam hati kita akan berkilah, "merekakan nabi, rasul, manusia pilihan". Maka seandainya mereka menyerah dan mengeluh mungkin kata ini akan keluar "Ya Allah aku juga manusia biasa." Tapi mereka tidak pernah melakukan hal tersebut sepanjang hidupnya.
Komentar
Posting Komentar