Kasihan Ibu

Kasihan Ibu, kalau hanya diingat setahun sekali, pada Hari Ibu. Padahal doanya yang hebat untuk kita digumamkan dari mulutnya tanpa henti. Dalam setiap helaan nafasnya selalu terselip doa-doa untuk anaknya. Bahkan mungkin doa untuk dirinya sendiri sering terlupakan. Sebab baginya, anak-anak adalah harta terindah yang harus benar-benar dijaga. Ia rela tak makan asal anaknya bisa makan. Rela kurang tidur ketika anak-anaknya sakit. Rela tak beli baju asal anaknya bisa mendapat baju baru.
Kasihan Ibu, yang kerap dilupakan anaknya sendiri. Padahal tak pernah sedetik pun ia lupa pada anaknya. Khawatir kalau anaknya belum pulang. Cemas kalau anaknya sakit. Tak pernah lupa menyiapkan sarapan buat anak-anaknya. Selalu ingat kebiasaan-kebiasaan kecil anaknya, dan berulang-ulang diceritakannya lagi dengan bangga kepada setiap orang. Padahal kita sering malu dan kesal, lupa bahwa begitulah caranya menyayangi kita, mengingat kita.
Kasihan Ibu, yang lebih sering sendirian ketika kita beranjak remaja dan menemukan dunia kita sendiri. Sementara kita asyik ngerumpi dengan teman-teman, ibu harap-harap cemas menunggu telepon kita, takut kalau terjadi apa-apa dengan anaknya. Sementara anaknya nonton film rame-rame dengan teman-teman, ibu harus terbengong-bengong di depan televisi, sendirian menonton acara yang tak begitu disukainya, sambil menunggu anaknya tercinta pulang ke rumah.
Kasihan Ibu, ketika kita beranjak dewasa dan berkeluarga, ia harus menikmati kesunyian sendirian. Sementara anak yang dibanggakannya, terlalu sibuk dengan urusan keluarga barunya, sehingga tak sempat menengok bahkan meski cuma seminggu sekali. Padahal tak ada yang diharapkannya, selain sekedar merasa punya arti bagi anak-anaknya. Selain merasa tetap disayangi tetap bisa menyayangi anak-anaknya.
Kasihan kita, yang tak pernah bisa memahami apa keinginan Ibu. Padahal sederhana saja yang dinginkannya, tetap memiliki arti di mata anak-anaknya. Kita sering merasa terlalu pintar untuk mencoba memahami perasaan Ibu, padahal sesungguhnya terlalu bodoh untuk sekedar memahami diri sendiri. Kita bahkan sering tidak tahu betapa besar kasih sayang Ibu kepada kita. Kita baru menyadari itu ketika Ibu sudah pergi meninggalkan kita. Dan airmata tak pernah bisa menebus rasa sesal kita. Maka, sayangi Ibu, pahami Ibu, muliakan Ibu, setiap hari. Senangkan hatinya, dengan apa yang kita punya, dengan apa yang kita bisa. Mulai sekarang. Tak perlu tunggu Hari Ibu berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup