Perempuan “Ibu Literasi Generasi Bangsa”
Perempuan adalah tentang kecerdasan menempatkan diri, kecerdasan dalam tahu diri. “be a girl with mindbe a woman with attitude, be a woman with class.”
Bukan sekedar cantik, pintar dan kaya
Keniscayaan bagi seorang perempuan yang tidak akan dapat tergantikan adalah menjadi seorang ibu. Perempuan menjadi seorang ibu tentu bukan hanya tentang hamil, melahirkan, dan menyusui. Lebih dari itu, di tangan ibu lah anak-anak mendapatkan nilai-nilai pendidikan pertama kali. Bukan dari tangan yang lain, bahkan ayah dari anak-anak tersebut. Perempuan adalah madrasah pertama (al-madrasatul al-ula) bagi setiap anak yang lahir dari lembaga keluarga. Ia lah yang akan mendidik anak-anak bangsa agar kelak berprestasi dalam segala bidang untuk kemajuan dan mengharumkan nama bangsa. Ibu adalah peletak dasar peradaban. Ibu yang cerdas akan mewariskan generasi cerdas. Ini terkait erat dengan proses belajar. Manusia dikatakan unggul apabila senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya.
Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti proses membaca menulis, yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam proses kegiatan tersebut menciptakan karya. Untuk melahirkan learning society peran ibu sangat besar. Karena budaya membaca tidak dapat dibangun secara cepat bagaikan membalikkan telapak tangan. Budaya membaca yang paling efektif harus dimulai sejak anak berusia dini.Ibu menjadi contoh nyata. Caranya dengan memaksa diri untuk suka membaca. Dengan demikian, energi positif dan semangat ibu membaca buku akan berpindah kepada anak-anaknya. Ketika anak melihat ibunya gemar membaca dan pembelajar, dengan gampang dia menirunya.
Iqra, demikianlah ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT. Ada rahasia besar dalam perintah pertama Allah ini. Menurut tafsir Quraish Shihab salah satu rahasianya ada pada ayat ketiga, yaitu iqra` warabbukal akram. Menurut beliau, kata al-Akram yang berbentuk superlatif mengandung pengertian bahwa Allah akan menganugerahkan puncak dari segala hal yang terpuji bagi semua hamba-Nya yang mau membaca. Terpuji di hadapan Allah, mulia di hadapan manusia karena banyak ilmunya. Pentingnya membaca ini pula yang kemudian menginspirasi Rasulullah mengambil langkah cerdas pascaperang Uhud, 70 orang musyrikin Quraisy berhasil ditawan kaum Muslimin. Angka yang cukup fantastis untuk dijadikan alat tekan terhadap kabilah Quraisy di Makkah. Namun, Rasulullah menempuh kebijakan lain. Sebagai gantinya, tawanan dibebaskan dengan syarat mengajari membaca 10 Muslim. Rasulullah menyakini, membaca adalah langkah penting yang mengantarkan umat Islam ke gerbang kejayaan.
RA Kartini (1879–1904) pernah mengatakan, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi keluarga di rumah juga harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah, kekuatan mendidik berasal.”
Dari sini, dapat dipahami bahwa kehadiran pendidikan keluarga sangat dibutuhkan. Dan, orang yang paling penting menduduki peran tersebut ialah perempuan. Karena perempuan adalah ibu. Karena perempuan adalah sosok yang melahirkan dan menyusui. Karena perempuan adalah madrasah pertama bagi setiap anak bangsa. Karena perempuan adalah orang paling dekat dengan para generasi penerus bangsa.
Ibu adalah penggerak proses belajar di keluarga. Budaya literasi dimulai dari budaya membaca kemudian diteruskan dengan budaya menulis. Ketika budaya membaca sudah terbangun dengan baik maka akan menjadi gampang membangun budaya menulis. Hampir 80-90 persen pengetahuan berasal dari membaca. Menurut Tilaar (1999), membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia. Dengan demikian, masyarakat yang gemar membaca akan melahirkan generasi yang belajar (learning society). Maka itu, sejak dini, para ibu harus membudayakan putra-putrinya untuk rajin membaca dan menulis. Dengan membiasakan si anak untuk senang membaca dan menulis, sejatinya ia telah menciptakan generasi penerus bangsa yang tak hanya berwawasan luas, tapi juga cerdas, memiliki kemampuan literer yang baik, terbiasa dengan pemikiran berbeda, terbiasa mencari sumber rujukan yang valid. Sehingga ia dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah menyalahkan orang lain. Tidak mudah dibohongi. Tidak mudah terpengaruh hasutan-hasutan radikal.
Elizabeth B Hurlock (1978) pernah berujar, pada tahapan perkembangan fisik, motorik, bicara, emosi, sosial, bermain, kreativitas, dan perkembangan moral yang terjadi pada usia sekitar 0–6 tahun, anak akan mudah menerima rangsang atau pengaruh lingkungan. Jika anak telah terbiasa berliterasi sejak usia dini, niscaya mudahlah untuk menanamkan paradigma kepada si anak, bahwa perbedaan itu sunnatullah, jangan diobrak-abrik dan dibenturkan. Justru kita perlu menjaga dan merawatnya demi menyongsong kemajuan.
Jadi, marilah kita pupuk lagi ghiroh kaum perempuan untuk senantiasa berusaha melahirkan generasi bangsa yang cinta damai, cinta Indonesia, cinta persatuan NKRI melalui kesadaran literasi sejak dini. Perempuan adalah “ibu literasi generasi bangsa”. Tanpanya, budaya literasi yang terus dikampanyekan Kemdikbud akan gagal. Tanpanya, masa depan bangsa Indonesia terlepas dari cengkraman ancaman perseteruan dan perpecahan akibat informasi hoax dunia maya tidak dapat terhindarkan. Tidak ada pendidikan lebih baik daripada pendidikan ibu, sosok perempuan yang paling berjasa bagi kehidupan para generasi bangsa.
Menengok ke Masa Sebelum Kartini
Dalam salah satu artikel di Jurnal Perempuan.org, nasib perempuan sebelum masa Kartini telah menjadi sorotan tersendiri. Di sana dijabarkan bahwa pada abad ke-18 dan ke-19, atau era sebelum Kartinimerupakan masa-masa yang cukup berat bagi Indonesia secara umum, dan penduduk perempuannya secara khusus.
Pada saat itu, Indonesia dihadapkan pada Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830 M) dan awal pendudukan militer Jepang (1942-1945). Secara khusus dibahas dalam buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (yang diterbitkan ulang) bahwa pada awal sebelum Perang Jawa dan masa-masa sesudahnya adalah masa yang krusial dalam menelusuri perubahan peran dan kuasa perempuan—secara khusus disebutkan perempuan Jawa—sebelum begitu terpengaruh kuasa kolonialisme Eropa yang didominasi lelaki patriarkis sekaligus sebelum kuasa Islam-Jawa patriarkis begitu dominan (Carey dan Houben, 2016).
“Perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi!”
Salah satu catatan dari Daendels yang menyinggung sentimen gender tersebut sebenarnya bukan merupakan penghinaan, tetapi ia justru menyadari bahwa perempuan Indonesia—dalam buku lebih sering disebutkan perempuan Jawa—memiliki kekuatan yang dapat menjadi ancaman dan tidak bisa diabaikan. Maksud merendahkan perempuan di muka umum tersebut tidak lebih dari upaya untuk membuat perempuan merasa rendah diri sehingga diharapkan akan terus tunduh di bawah kekuasaan patriarki yang disebarkan pemerintahan kolonial.
Masa-masa Kartini
Masyarakat tidak tinggal diam menghadapi ketidakadilan. Pada tahun-tahun mendatang tepatnya pada awal 1900-an organisasi pergerakan memang mulai marak digalakkan. Sedikit banyak, organisasi pergerakan tersebut terpengaruh oleh sosok pembaharu bagi perjuangan bangsa Indonesia, Kartini.
Perempuan yang bernama lengkap Raden Ajeng Kartini tersebut lahir sebagai anak bangsawan dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara. Mengenai sosok Kartini, Pramoedya Ananta Toer pernah mengungkapkan sebuah tulisan yang menarik "Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi yang “sakitan” menurut istilah Bung Karno. Bersamaan dengan batas sejarah pribumi ini, mulai berakhir pula penjajahan kuno Belanda atas Indonesia dan memasuki babak sejarah penjajahan baru; imperialisme modern” (Toer, 2009: 12).
Sudah barang tentu hal yang diperjuangkan oleh Kartini adalah emansipasi atau kesetaraan hak untuk perempuan dan laki-laki. Hal ini muncul karena bagi Kartini, perempuan Indonesia—terutama perempuan Jawa—terlihat sangat tertindak hak-hak kemanusiaannya. Yang paling menjadi perhatian Kartini adalah permasalahan yang berhubungan dengan aksara, literasi, dan pendidikan bagi perempuan.
“Perempuan tidak perlu sekolah. Perempuan tidak perlu tahu baca tulis. Perempuan hanya perlu tahu masak dan dapur, serta melayani suami.”
Beruntung Kartini lahir dari keluarga ningrat sehingga ia dapat memeroleh pendidikan yang cukup tinggi sehingga dapat mengerti baca tulis. Akan tetapi, melihat orang-orang di sekitarnya, abdi dalam, dan teman-teman lain yang tidak seberuntung dirinya, ia merasa sangat miris.
Kini, perempuan Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan sehingga boleh bersekolah bersama dan memeroleh hak pendidikan yang sama. Sebagai dampaknya, seperti yang sudah dijabarkan di atas, angka buta aksara Indonesia, khususnya untuk para perempuan terus menurun jumlahnya, dan kini tidak sampai satu persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.
Sebagai penentu masa depan sebuah bangsa, pantaslah kalau perempuan disebut-sebut sebagai tiang negara. Jika perempuannya baik dan berkualitas, berkualitas pula negaranya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Negara berada di ambang kehancuran. Kemajuan sebuah bangsa tak pernah lepas dari sentuhan tangan ibu.
Sejarah telah memberitahukan kepada manusia sekarang bahwa para pahlawan dan orang-orang sukses tak mungkin bisa pasti ada campur tangan ibu dan keluarga. Presiden pertama RI Soekarno misalnya, ia dididik untuk menjadi “orang besar”. Bahkan sang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, selalu memanggil putranya itu dengan panggilan “Putra Sang Fajar”. Sejarah mencatat, Soekarno benar-benar menjadi orang besar, paling berpengaruh bagi dunia, khususnya Indonesia. Bung Karno dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia yang jasanya dikenang sepanjang masa. Semua itu berkat kecakapan seorang ibu sehingga aura positif dan motivasi membuatnya tergugah untuk menjadi orang seperti yang didambakan ibu dan keluarga.
Dari itu, jelas bahwa perempuan adalah agen penting dalam memastikan masa depan bangsa Indonesia yang bermuara pada masa-masa cerah nan gemilang. Ia bukan hanya dituntut untuk melahirkan generasi penerus yang memiliki prestasi cemerlang. Ia juga harus menjadi aktor dalam setiap perubahan ke arah kemajuan yang dibingkai dalam indahnya kedamaian dan keadaban.
Daftar Bacaan :
•http://id.wikipedia.org/wiki/Budayahttp://jaririndu.blogspot.com/2012/06/sejarah-perpustakaan-di-indonesia.html •tempo.com
•kemendikbud.co.id
•jurnalperempuan.org
Komentar
Posting Komentar