Humanistik

"Kebebasan fisik bisa direnggut akan tetapi kebebasan rohani, tidak." Sederhananya, bisa kusimpulkan demikian.

Sebagai contoh, mari kita recall kembali kisah seorang budak berkulit hitam bernama Bilal bin Rabbah. Pernah merasa heran mengapa Bilal begitu konsisten mempertahankan keimanannya padahal nyawanya telah menjadi taruhan? Sama. Saya juga.

Lalu, Sumayyah dan suaminya. Sumayyah—seorang wanita pemberani yang syahid pertama kali, disiksa dengan ditusukkan besi dari (maaf) vaginanya hingga tembus ke atas kepalanya karena mempertahankan keimanannya.

Juga suaminya, disiksa sampai mati dengan diikat tangan-kakinya dan dihubungkan pada kedua kuda yang berlawanan arah, ditarik, hingga badannya (maaf) terbagi menjadi dua.

Mereka dirampas kebebasan fisiknya, ditawan kemerdekaannya, tetapi rohani mereka tidak bisa direnggut oleh siapapun. Itulah yang membuat mereka kuat, yakni karena keimanan mereka kepada Allah yang telah membebaskan jiwa mereka.

Sebab kebebasan rohani erat hubungannya dengan spiritualitas, dan ada dalam kendali kita. Kita punya kuasa untuk mengisolasinya dari pengaruh luar/fisik agar kita bisa 'bertahan' dengan kondisi tersebut. Dan kita tetap jadi pribadi yang hidup dengan pikirannya.

Teori konseling Humanistik-eksistensialis ini meyakini bahwa manusia itu ada, dan keberadaannya disadari sepenuhnya. Manusia senantiasa mencari makna dari setiap kejadian di dalam hidupnya. Pun manusia turut memiliki kebebasan, dan bertanggung jawab atas kebebasan tersebut.

Teori ini bagian dari Humanistik secara umum. Yang menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, konstruktif dan dapat diandalkan, maju ke arah aktualisasi diri. Pandangan yang paling membuat saya takjub adalah pernyataan ini,

Kegagalan sesungguhnya adalah kegagalan untuk berubah dan belajar (Bohart, 1995).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup