TIRANI DAN CINTA
Tirani selalu bermula dari sana: saat seseorang atau sekelompok orang atau sebuah rezim kehilangan respek dan penghargaan kepada orang lain atau kelompok lain atau rezim lain. Ketika respek dan penghargaan hilang, persepsi kita beralih ke dalam, kedalamnya diri , sang Aku. Lalu kita mulai memandang dari perspektif sang aku wilayah luar orang atau kelompok lain sebagai sesuatu yang terpisah dan asing, tidak berarti, tidak layak ada atau bahkan mengancam.
Saat itu hanya satu lagi yang ditunggu oleh tirani untuk muncul jadi kenyataan : kekuasaan yang melegitimasi. Itu sebabnya tirani selalu terkait dengan kekuasaan, sekecil apapun skalanya. Misalnya tirani dalam ruamah tangga, atau sekolah, atau oraganisasi, atau perusahaan, atau negara. Kekuasaan adalah otoritas netral yang bisa digunakan utuk melegitmasi apa saja. Godaanya justru teletak di situ; pada netralitasnya. Maka begitu respek dan penghargaannya lenyap dan berganti dengan kebencian, kekusaan segera memberi jalan mulus bagi tirani.
Begitulah pada mulanya Fir’un merasakan sang Aku menjadi Tuhan. Ketika respek dan penghargaannya hilang kepada kerumunan besar manusia bernama rakyat, ia mulai’meremehkan’ mereka. Setelah itu ia memobilisasi mereka lalu mendeklarasikan ketuhanannya. Dan serial tirani terbesar dalam sejarah manusia pun dimulai.
Tirani. Momok besar dalam sejarah mnusia ini selalu berkoalisi dengan kekuasaan. Tapi momok ini tetap bisa dilawan. Dan kekuatan yang bisa melawannya hanya cinta. Cinta adalah kutub jiwa yang berlawanan dengan tirani: ia lahir dari respek dan pengharagan kepada manusia. Begitu kekuasaan mendapatkan sentuhan cinta, wajahnya segera berubah: gurat-gurat kekejaman segera berganti jadi garis-garis kerentaan dari seorang penguasa yang lelah melayani rakyatnya.
Jika cinta adalah tindakan memberi, maka dari sanalah datangnya semua kebajikan dalam diri seorang penguasa: mendengar, melayani, membagi, melindungi, adil dan menyejahterakan. Jadi hanya dalam genggaman cinta kekuasaan berubah menjadi alat untuk melindungi, melyani dan menyejahterakan. Di sana sang Aku bukan lagi kuda liar yang setiap saat bisa melompat dari kandang dengan energi kekuasan. Sang Aku dalam genggaman cinta adalah mata air kebajikan yang pada suatu saat bertemu dengan hujan deras kekuasaan, maka jadilah ia banjir: kebajikan melimpah ruah dalam muara masyarakat manusia.
Dari tradisi kepemimpinan Amerika Serikat kita bertemu dengan ungkapan ini: “Jangan bertanya apa yang diberikan negara padamu, tapi bertanyalah apa yang kamu berikan untuk negara?” tapi dari tradisi nubuwwah kita mewarisi sabda yang diriwayatkan Muslim ini: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan meraka mencintai kalian, kalian mendoakam meraka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan meraka melaknat kalian.” (Anis Matta)
Komentar
Posting Komentar