Karena Tuhan Belum Restu
Published by ahimsa on June 13, 2016
Ada tiga huruf, alfabet empat, lima, dan sebelas, yang biasa kamu gunakan untuk menyapa. Sudah lama tidak terdengar. Biar saja tak terdengar. Ada 20 bungkus cokelat krispi kesukaanku di dalam kresekmerahmu. Sudah lama tanganku tak menerima. Biar saja tak terterima. Ada beberapa baris syair tak bernada tapi bernyanyi merdu di pikiranku. Sudah lama tak berbisik. Biar saja tak terbisik. Ada sendu dalam rindu yang mencandu. Sudah lama tak berpadu. Biar saja menjadi tumpukan residu.
Diam-diam, kita mungkin saling bertukar cerita dalam perantara yang tak ada, atau saling meniadakan dalam ada, atau saling menggantung dalam pendulum waktu yang entah kapan terhenti di titik aku dan kamu. Mungkin kamu juga mengatakan, “Biar saja bla bla bla”, lalu tenggelam lagi dalam deru aktivitas. Melupakan soal itu.Atau mungkin kamu sedang bersiap? Bersiap apa? Entahlah, aku bahkan hanya menerka dengan ‘mungkin bla bla bla’ sejak huruf pertama masuk ke paragraf ini. Biar saja tak terterka, sampai kamu memberi jawaban.
Karena mungkin saja, aku juga tak terterka, sampai aku memberi jawaban. Ada beberapa huruf yang berjajar rapi. Apa bunyinya? Biar saja hanya aku dan layar putih ini yang tahu. Ada beberapa bulir yang mengkristal. Kenapa? Biar saja tetesan yang mengendap itu yang tahu.
Biar saja, aku dan kamu sama-sama tak terterka.
Biar saja, kita saling bertukar cerita dalam perantara yang tak ada atau saling meniadakan dalam ada. Atau saling menenggelamkan diri dalam deru aktivitas untuk melupakan soal itu. Atau saling membiarsaja. Atau mari pura-pura saja tak tahu jika aku atau kamu berhasil menerka jawaban-jawaban itu.
Sampai kapan?
Entah. Mungkin sampai kamu berjalan atau sampai kamu bertanya. Atau sampai aku ditanya. Atau sampai kita berhenti di pendulum waktu yang sama.
Biar saja diam menjadi pilihan terindah, karena resah belum saatnya menjadi kisah. Biar saja berpisah, saling mencari arah dan berpasrah.
Karena Tuhan belum restu. Karena huruf-hurufmu belum sempat terurai menjadi laku.
Ada tiga huruf, alfabet empat, lima, dan sebelas, yang biasa kamu gunakan untuk menyapa. Sudah lama tidak terdengar. Biar saja tak terdengar. Ada 20 bungkus cokelat krispi kesukaanku di dalam kresekmerahmu. Sudah lama tanganku tak menerima. Biar saja tak terterima. Ada beberapa baris syair tak bernada tapi bernyanyi merdu di pikiranku. Sudah lama tak berbisik. Biar saja tak terbisik. Ada sendu dalam rindu yang mencandu. Sudah lama tak berpadu. Biar saja menjadi tumpukan residu.
Diam-diam, kita mungkin saling bertukar cerita dalam perantara yang tak ada, atau saling meniadakan dalam ada, atau saling menggantung dalam pendulum waktu yang entah kapan terhenti di titik aku dan kamu. Mungkin kamu juga mengatakan, “Biar saja bla bla bla”, lalu tenggelam lagi dalam deru aktivitas. Melupakan soal itu.Atau mungkin kamu sedang bersiap? Bersiap apa? Entahlah, aku bahkan hanya menerka dengan ‘mungkin bla bla bla’ sejak huruf pertama masuk ke paragraf ini. Biar saja tak terterka, sampai kamu memberi jawaban.
Karena mungkin saja, aku juga tak terterka, sampai aku memberi jawaban. Ada beberapa huruf yang berjajar rapi. Apa bunyinya? Biar saja hanya aku dan layar putih ini yang tahu. Ada beberapa bulir yang mengkristal. Kenapa? Biar saja tetesan yang mengendap itu yang tahu.
Biar saja, aku dan kamu sama-sama tak terterka.
Biar saja, kita saling bertukar cerita dalam perantara yang tak ada atau saling meniadakan dalam ada. Atau saling menenggelamkan diri dalam deru aktivitas untuk melupakan soal itu. Atau saling membiarsaja. Atau mari pura-pura saja tak tahu jika aku atau kamu berhasil menerka jawaban-jawaban itu.
Sampai kapan?
Entah. Mungkin sampai kamu berjalan atau sampai kamu bertanya. Atau sampai aku ditanya. Atau sampai kita berhenti di pendulum waktu yang sama.
Biar saja diam menjadi pilihan terindah, karena resah belum saatnya menjadi kisah. Biar saja berpisah, saling mencari arah dan berpasrah.
Karena Tuhan belum restu. Karena huruf-hurufmu belum sempat terurai menjadi laku.
Komentar
Posting Komentar