Sekolah Kolong

Malam itu setelah melakukan perjalanan kaki kurang lebih selama 3 jam menuju sekolah kolong.
Akhirnya aku bisa menyandarkan diri pada dinding rumah tua milik dg.rosi. Nenek yang menampung anak-anak kampung Bara-barayya.

Ini bukan pertemuan kali pertama, tiba-tiba jamila dan salati duduk tepat di hadapanku dan menggenggam tanganku . Mereka tersenyum. Ahh, sungguh pemandangan senyum yang kulihat malam itu cukup menghapus lelah dan penat.

Aku membalas senyumnya sambil  menggoda. Mereka tertawa.
Pertemuan yang kukira mereka akan takut padaku. Sebab di kampung mereka sama sekali tak ada perempuan bercadar, beruntungnya sekarang mereka mulai mengenal jilbab atas donasi-donasi jilbab yang didonasikan orang-orang baik.

Aku lapar, Haaaahhhhh

Tiba-tiba di selah-selah obrolan

Jamila : Kak, bisa kita buka cadarta? Tidak adami laki-laki (tapi pake bahasa daerah, ini cuman diartikan sendiri yahh)

Salati : Ayok kak, buka. Mauka lihat *sambil merajuk dan agak memaksa*

Aku hanya tersenyum, memandangi dua gadis belia jelita yang akan menjadi idaman kampung.

Karna waktu itu adalah saat yang tepat, tak ada laki-laki.
Segera kulepas kain yang menutup muka ku sambil tersenyum memeluk jamila dan salati.

Kalian jangan takut, setiap orang punya sisi kasih sayangnya dek. Sekalipun orang itu cacat atau pincang atau buta sekali pun. Meski berbeda, kita tetap harus berkasih sayang.

Jamila dan salati seolah menyerang dengan pertanyaan-pertanyaannya.

Jamila : Kak, cantiknya kalau tidak pakai cadar. Janganmi pake.

Salati : Iya kak (senyum dan mencubit pipi ku)

Ini kali pertama mereka melihat wajahku, setelah beberapa pertemuan yang kami lewati. Salati, gadis jelita yang tinggal dipinggiran sungai. Membantu orangtua mengembala sapi atau menjaga padi di sawah.
Mereka tersenyum, entah apa yang ada di fikiran anak-anak kecil ini. Jamila dan Salati terus saja mengandeng tanganku dan memeluknya erat.

Ayok, waktunya tidur. Bukankah ada hari-hari panjang yang akan kita lalui bersama.

Keesokan harinya, kami menuju rumah sawah Jamila. Disana ada Kasraan yang sedang sakit.
Bersama Salati dan dua kakak relawan lainnya.

Jamila : Kak, tapi jauh (Jamila yang khawatir dengan kami)

Aku : Bukankah untuk bertemu dengan kalian kakak lebih dulu menempuh perjalanan jauh,  ayo dek jalan saja. Nanti kalau kakak capek, kami akan bilang dan istirahat sebentar.

Rumah sawah jamila ternyata ada di seberang sungai itu, arus nya rupanya deras.
Bayangkan saja anak kecil seusia mereka harus melewati sungai, basah-basahan menuju sekolah.

Dengan sangat khawatir jamila melihat kearah kami, dia begitu takut kami akan marah atau tak ingin menemani mereka. Rupanya tidak (semua baik-baik saja).
Hari itu kami melewatinya dengan sangat menyenangkan, bermain di sungai, berlarian di pematang sawah dan hal-hal yang akan manusia dewasa rindukan dimasa kecilnya.

Kami pulang dengan pakaian basah kuyup.

Salati : Kak, kenapa di tutup muka ta ? Tidak kayak temanta yang lain.

Lag-lagi, pertanyaan polos itu muncul. Kemudian kujelaskan saja bagaimana kewajiban perempuan menutup aurat.

Sambil menggoda kembali, aku hanya mengatakan ; Nanti, kalau kakak punya suami. Biarkan suami kakak yang bisa memandangi wajah kakak. Kan ? *senyum-senyum*

Hari beranjak, waktunya pulang.

Jamila dan Salati tetap menggenggam erat tanganku. Seolah tak ingin ada perpisahan.

Tenanglah dek, akan ada pertemuan selanjutnya.

Pertemuan dimana menjadi guru agama mereka sangat menyenangkan dan menguras kesabaran.
Kakak-kakak relawan mempercayakan untuk menjadi guru agama siswa sekolah kolong.

Akhirnya, aku mengingat

Cita-cita semasa kecil dulu ingin menjadi guru (guru bahasa indonesia)

Jamila dan Salati mengantar kami tetap dijalan depan rumah jamila.
Daadaahhhhh kakak cantik.

Hari itu senyuman mereka membekas, menjadi rindu yang tak mau lepas.

Sampai disini kisah kami

~bersambung ke postingan selanjutnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup