Menata Desember

Desember penghujung perjalanan dua belas bulan telah tiba,
Banyak doa yang telah terpanjatkan
Atas harapan-harapan yang belum tersuguhkan,
Dan musim hujan datang membersamainya,
Aroma khas dedaunan gugur, ranting-ranting bermuara riang,
Gemuruh hujan, tetesan air berisik meredam suara,
Membuat genangan sekaligus kenangan november yang telah lalu,
November yang datang terlalu sebentar dan meninggalkanku gemetar,
Terjebak diantara genangan bening,
Mengalir dari genteng berkarat,
Meranggas dari gugus kalbu,
Menganak sungai,
Menghulu diujung jemariku,
Rinai rindu merah jambunya hati,
saat raga bermandi peluh yang gigilkan tubuh dan rasa kita,
Pekat menjamah dengan tenang,
Tersadar dengan gelap dan ku rajut di penghujung purnama,
Jangan hidup dalam kesedihan,
Jangan larut dalam kehilangan,
Berbahagialah hati,
Berdamailah,
November pamit menawarkan tabah yang begitu lembut ditiap hembus angin senja sorenya,
Anggun lalu berjanji akan kembali,
Dan rela kehilangan bulir kehadirannya,
Ini klasik,
Pada desember mempersunting hujan,
Serangkaian partitur mulai dinyanyikan dengan nada sendu,
Aku menyukainya,
Desember dan melodi hujan,
Aku gugup pertama kali memandangmu,
Aku tabah menunggumu hingga akhir,
Pada sebuah temu yang tidak pernah kita maksimalkan,
Pada sebuah kerelaan tentang kepergian,
Aku mulai pandai bersyukur pada sebuah kepergian ada pelajaran yang terangkul,
Desember menyajikan hukum alam bahwa yang datang setelah pergi sama-sama harus disyukuri,
Desember musim hujan,
Musim rindu,
Rindu yang beranak pinak,
Semoga kelak rasa kita menjadi mutlak,
Berdamailah,
Mari menata desember,
Menikmati tiga puluh satu hari yang tersajikan,
Sebelum menapaki sebuah kepergian
.
Mari berdamai, Hatiku lapang
.
~Dian Rahmana Putri
Pangkajene, 1 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup