Esensi Pendidikan dan Perjuangan Mahasiswa

“Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”, Soe Hok Gie.
Kewajiban seorang mahasiswa bukan hanya belajar di kelas. Kewajiban mahasiswa bukan hanya menjadi insan prestatif, mengejar IPK setinggi-tingginya. Sesungguhnya, kewajiban terbesar mahasiswa adalah menjadi penyambung lidah rakyat, serta berjuang di barisan rakyat dan bersama rakyat.

Ketika kebijakan pemerintah tidak lagi pro rakyat, maka sudah saatnya mahasiswa memberikan teguran! Ini bukan solusi. ini hanya jalan menuju solusi itu. Pemerintahlah yang lebih berkewajiban untuk solusi itu. Mahasiswa hanya bertugas dan memang sudah menjadi tanggung jawabnya untuk mendorong mereka agar memberikan solusi. Mereka bertahta dan hidup dari uangnya mahasiswa, uangnya rakyat, jadi mereka lebih bertanggujawab. 

Mahasiswa bukan golongan reaktif, bukan golongan idiot yang irasional dan emosional. Mahasiswa sebetulnya adalah intelektual muda, golongan pro-aktif yang coba beraksi dengan kesaksian-kesaksian atas data secara rasional, dengan pikiran dan hati yang terbuka.


Pergolakan hidup yang sarat akan problem seperti situasi saat ini, menjadi alasan yang tepat bagi mahasiswa untuk merefleksikan kembali tujuan atau cita-cita bangsa. Salah satu tujuan nasional Bangsa Indonesia yang terdapat pada alinea keempat pembukaan UUD 1945, yaitu: “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pernyataan ini merupakan suatu amanat atau pesan dari para pendiri bangsa. Secara rasional dapat dikatakan, bahwa hasil dari upaya mecerdaskan ini, yakni terciptanya suatu kehidupan bangsa yang cerdas. Kehidupan bangsa semacam ini dapat memungkinkan masyarakatnya menikmati hidup yang aman, damai, dan sejahatera. Hal ini merupakan sesuatu yang ideal dan tentunya semua orang pasti mengimpikan untuk bisa masuk dalam situasi itu. 

Namun yang menjadi pertanyaannya, apakah situasi yang ideal itu sungguh nyata dalam realitas bangsa? Saya yakin, semua orang yang peka terhadap fenomena-fenomena sosial dan paham akan kata “cerdas” pasti mengatakan “tidak”. Kata “cerdas” yang menjadi kata kunci dalam amanat undang-undang di atas, sungguh memiliki arti yang sangat luas, mendalam, dan padu. Tetapi sangat disayangkan, arti kata itu seolah- olah hilang khazanahnya dan menjadi tidak integral dalam persepsi publik. Konsep yang luas dan mendalam yang mencakup berbagai aspek penting dalam kata “cerdas” itu tidak dipahami secara masif. 

Sejarah panjang perjuangan bangsa ini tidak pernah terlepas dari para pemuda terdidik, terutama mahasiswa. Dari masa ke masa, dari zaman ke zaman, bahkan dari rezim ke rezim, mahasiswa selalu tampil terdepan dalam mengawali dan mengawal berjalannnya suatu zaman, suatu rezim. Telah banyak catatan yang ditorehkan oleh mahasiswa dengan tinta emas pada lembar sejarah bangsa ini. Peran pemuda terutama mahasiswa pasca kemerdekaan lebih kepada pengawalan pemerintahan. Mereka selalu berupaya menjadi social controller yang setia di barisan perjuangan untuk mengawali pemerintahan agar tidak keluar dari koridor yang telah menjadi konsensus bersama. Proses pengawaln ini membuat mahasiswa menjadi salah satu entitas penting yang cukup diperhitungkan pada waktu itu. Mereka sangat bergiat diri dalam mengkaji masalah kerakyatan dan kemudian menentukan sikap mereka atas masalah itu. 


Pada tahun 1966, mahasiswa menyatakan sikap kontra mereka terhadap pemrintahan Orde Lama (Orla). Hal ini yang memicu timbulnya aksi demonstrasi oleh mahasiswa. Mereka ramai-ramai ke gedung DPR-GR dengan membawa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Ini terus berlanjut dan cukup memicu semakin kacaunya situasi sosial politik pada waktu itu, hingga pada akhirnya, Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Soeharto. Sejak saat itu pemerintahan Orde lama semakin lemah dan diperlamahakan serta pada akhirnya runtuh. 

Wacana mengenai kecerdasan ideal pada setiap individu (peserta didik) yang melingkupi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik merupakan wacana yang tidak pernah sepi dibahas dalam berbagai forum diskusi, baik di lingkup pemerintah, di lembaga- lembaga pendidikan, bahkan di masyarakat umum. Kenyataan ini hendak menunjukan kepada kita bahwa persoalan ini memang benar-benar urgen dalam agenda perbaikan pendidikan Indonesia untuk mencapai tujuan nasional bangsa, yaitu terwujudnya kehidupan bangsa yang cerdas. Karena sering dijadikan topik pembicaraan, maka persoalan mengenai kecerdasan seperti yang disebutkan di atas itu tentunya sudah dipahami oleh banyak pihak. 

Namun dalam realitas kehidupan kita, pemahan itu terkadang jarang diwujudkan dalam hal-hal nyata yang dapat diindrai, sehingga boleh dikatakan kalau pemahaman itu belum memiliki roh atau dasar-dasar yang kuat. Pemahaman akan konsep kata sebenarnya harus benar dan tepat. Apalagi bila kata itu berhubungan dengan suatu amanat atau pesan, sebab pemahaman terhadap suatu amanat atau pesan yang terdiri dari kata, frasa, atau kalimat akan berdampak terhadap tindakan yang diperbuat. Oleh karena itu, seseorang yang salah memahami makna kata, frasa, atau kalimat akan bertindak salah pula. 

Misalnya, seseorang siswa di sebuah desa terpencil diminta oleh gurunya untuk untuk membawa bibit jagung untuk ditanam di kebun sekolah. Karena ia salah memahami pesan atau amanat dari gurunya tersebut, maka siswa itu pun kemudian membawa jagung yang sudah direbus ke sekolah. Dari contoh ini dapat dikatakan, bahwa intruksi guru memang ditaati oleh sisiwa itu. Tetapi apa yang diharapkan oleh guru tidak terpenuhi, karena siswa tidak melakukan apa yang diamanatkan oleh guru. Dari contoh di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebuah amanat itu bukan hanya ditaati tetapi juga harus dilaksanakan dengan tepat (sesuai apa yang dimanatkan). 

Contoh di atas sangat sesuai dengan realitas implementasi salah satu amanat yang merupakan tujuan Bangsa dalam aline keempat UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Secara sederhana inti dari amanat tersebut, adalah untuk membuat bangsa cerdas (intelektual, afektif, dan psikomotorik)! Secara umum amanat itu sudah dilaksanakan dan akan tetap dilaksanakan. Namun, mungkin karena kurang memahami amanat tersebut, maka dalam melaksanakan amanat tersebut timbul suatu kesenjangan (tidak sesuai apa yang diamanatkan), dimana bangsa Indonesia hanya menitikbertakan perhatian pada aspek intelektual (salah satu aspek dari kecerdasan). 

Beberapa catatan pada kanvas perjuangan, yang penting untuk kita ketahui, seperti berdirinya organisasi Budi Utomo tahun 1908 sebagai permulaan timbulnya semangat kebangsaan atau yang lebih dikenal dengan awal mula kebangkitan bangsa, Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai suatu momentum penyatuan kekuatan pemuda bangsa, hingga proklamasi kemerdekaan Indonsia tahun 1945 sebagai puncak perjuangan. Namun, tidak berhenti di situ perjuangan mahasiswa, sebab sejatinya kemerdekaan hanya merupakan suatu jembatan. Oleh karena itu perjuangan dari para pemuda terutama mahasiswa terus berlajut. Mereka terus berupaya menjadi bagian dari pembanguan bangsa. Ikhtiar mulia mahasiswa Indononesia dalam mengawal pemerintahan terus berlanjut. 

Di bawa rezim pemerintahan orde baru (Orba) yang dikatator otoriter berbagai gerakana mahasiswa mendapat intervensi dan represifitas yang sangat luar biasa dari pemerintah. Namun itu tidak mematikan daya juang mahasiwa. Perlawanan kepada rezim ini terus berlanjut hingga menemui titik puncaknya pada tahun 1998, ketika mahasiswa bersatu, bergerak, dan merebut kedaulatnnya, kedaulatan rakyat yang selama ini dirampas. Dan sejak saat itu, kita memasuki babak baru, era baru, suatu era yang kita kenal dengan sebutan era reformasi. Di era reformasi ini yang kental dengan spirit berdemokrasi ini, paritispasi politik warga negara menjadi salah satu hal utama. Mahasiswa sebagai warga negara terpelajar dan terdidik menjadi basis kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam momentum ini. 

Sebagaimana yang dikatakan Soe Hok Gie pada awal tulisan di atas, bahwa mahasiswa harunya bersikap dewasa dalam menentukan sikap politiknya. Oleh karena itu dapat kita katakan, bahwa mahasiswa itu sebenarnya bukan identik dengan sebuah basis massa yang memiliki kekuatan politik, tetapi mahasiswa itu sesunggunya merupakan golongan, entitas yang memiliki suatu kekuatan moral untuk memperjuangkan suatu kebenaran serta menyelamatkan rakyat dari berbagai sistem.

Dalam kehidupan sehari-hari kasus mengenai kesalahtafsiran terhadap kata “cerdas” itu ini sungguh nyata dan menimbulkan problematik yang memicu timbulnya berbagai masalah besar di bangsa ini. Suparlan (2004), mengatakan bahwa rumusan tujuan negara “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 telah menjadi konsensus nasional sejak awal negeri ini dibentuk. Namun, konsepsi terhadap kata “cerdas” yang ternyata memiliki nilai-nilai universal itu belum sepenuhnya dijabarkan dan diimplementasikan secara konsisten dalam kebijakan, program, dan kegiatan. 

Dengan kata lain, berbagai kebijakan, program, dan kegiatan yang disusun sering kurang atau bahkan kadang keluar dari prinsip yang telah disepakati dalam konsensus nasional itu. Beberapa contoh sederhana, misalnya saat pengumuan hasil ujian, peserta didik yang mendapat nilai ujian tertinggi akan disebut sebagai siswa yang cerdas. Hal ini sebagai bukti bahwa konsep “cerdas” sudah mengalami pergeseran makna dari yang idealnya. 

Makna kata “cerdas” yang melingkupi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik itu tidak nyata lagi. Aspek afektif dan psikomotorik yang sharusnya mendapat porsi perhatian yang ekstra, kini sudah termarginalkan. Perlu disadari, bahwa dengan memojokan kedua aspek ini, maka akan berdampak terhadap kehidupan peserta didik, keluarga, masyarakat, dan dalam lingkup yang lebih besar, yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa kasus yang terjadi di negeri ini yang pada umumnya disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang dianggap mampu dalam aspek kognitif (intelektual) tetapi lemah dalam aspek-aspek non kognitif, seperti kemampuan afektif (emosional dan sikap) bahkan psikomotorik (skill), tentunya menjadi bukti nyata dari minimnya perhatian terhadap aspek-aspek non kognitif seperti yang disebutkan di atas. 


Misalnya, para pejabat-pejabat pemerintahan yang terlibat dalam kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nipotisme). Secara umum orang-orang yang tergolong dalam kategori ini merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, bahkan banyak dari mereka memiliki gelar akademik yang lebih dari satu dan merupakan lulusan dari perguruan-perguruan tinggi kelas atas di Indonesia. 

Hal ini membuktikan bahwa kemampuan secara intelektual saja tidak cukup sebagai bekal bagi seseorang dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, apalagi bagi generasi bangsa yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang. Dan dari realitas ini pula, kita dapat menagatakan, bahwa lembaga pendidikan di negeri ini belum mampu atau masih gagal dalam menciptakan generasi-generasi terdidik yang cerdas. Memarginalkan aspek non kognitif, seperti aspek afektif dan psikomotoritk seperti yang digambarkan di atas merupakan suatu masalah yang sangat fundamental dan krusial. 

Dikatakan sebagai masalah yang fundamental, karena masalah tersebut dapat menimbulkan masalah-masalah selanjutnya atau dengan bahasa sederhana, yaitu bahwa masalah di atas berperan sebagai penyebab dalam suatu siklus masalah. Sedangkan dikatakan sebagai masalah yang krusial, karena masalah tersebut merupakan suatu masalah yang akan berakibat sangat fatal terhadap kehidupan sehingg perlu segera mungkin dicarikan solusi atas permasalahan tersebut. 

Namun perlu diketahui, bahwa tidak semua orang paham akan hal itu. Bahkan lembaga pendidikan terutama persekolahan sebagai lembaga pendidikan formal yang memungkinkan suatu proses pendidikan berjalan dengan sistematis dan beraturan pun cenderung “mengabaikan” hal itu. Sebenarnya era sekarang, dimana makin berkembang dan meningkat kesadaran akan pentingnya aspek-aspek non kognitif (afektif dan psikomotorik), pemahaman terhadap kata “cerdas” sudah tergolong baik. Tetapi yang menjadi persoalan sekarang, dalam tataran implementasi masih belum ditemukan adanya perhatian yang proporsional terhadap aspek-aspek ini. Misalnya, dalam rapor peserta didik di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. 

Pada rapor itu konsep kecerdasan ideal yang diimplementasikan melalui suatu model evaluasi yang masif dimana mencakup pengukuran dari ketiga aspek kemampuan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik itu ada. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat umum terutama pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan sudah memahami akan pentingnya pengukuran aspek-aspek non kognitif, bahkan pemahaman itu sudah mereka tunjukan melalui penilaian hasil belajar yang mencakup ketiga aspek tersbut. 

Tetapi yang menjadi pertanyaannya, pernakah kita mendengar ada siswa atau mahasiswa yang lulus dengan predikat cumlaude ketika memiliki sisi afektif (sikap, watak, dan emosional) terunggul sesuai yang tertera pada rapor atau atau bukti hasil belajar lainnya? Di sinilah letak ketidakproporsionalan perhatian dan pemberlakuan terhadap ketiga aspek kecerdasan itu sendiri, sebab di Indonesia kita tidak pernah mendengar ada orang yang jika memiliki kemampuan afektif terunggul di sebuah lembaga pendidikan akan mendapat predikat cumlaude atau lulusan terbaik.

Hal ini yang merupakan kesalahan kecil namun sangat fatal, karena secara tidak langsung kemampuan dalam aspek non kognitif terutama aspek afektif tidak pernah dihargai dan terekesan diabaikan. Penilaian pada aspek ini hanya sebagai simbol atau lambang yang tidak memiliki nilai yang lebih tinggi dari aspek intelektual dan cenderung “tidak bernilai” apa-apa. Hal ini yang menyebabkan tidak banyak peserta didik yang berusaha menumbuhkemkbangkan karakter baik. Malahan mereka cenderung tetap mempertahankan karakter buruk mereka dengan menunjukan sikap serta perilaku yang buruk. Mungkin mereka pun menganggap bahwa menumbuhkembangkan karakter yang baik tidak akan berdampak apa-apa terhadap kehidupan mereka. Paradigma seperti ini merupakan penyakit awal yang menimbulkan hancurnya moral bangsa. 

Bila kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menjadi sesuatu yang tidak mungkin jika bangsa Indonesia akan hancur lebur di suatu saat nanti dan penyebabnya pun bukan oleh orang atau bangsa lain melainkan putra-putri bangsa Indonesia sendiri. 

Solusi yang tepat atas permasalahan ini, yaitu dengan meningkatkan perhatian melalui pengapresiasian yang tinggi terhadap orang-orang yang memiliki karakter-karakter baik. Bila perlu orang-orang yang berkarakter terunggul disejajarkan dengan orang-orang yang memiliki intelektual terbaik dalam segi evaluasi hasil belajar di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Dan kedua-duanya wajib diberi kesempatan yang sama dalam hal memperoleh pengakuan dan penghargaan, misalnya sama-sama diberikan piagam penghargaan, uang pembinaan, akses beasiswa dalam negeri maupun luar negeri, dan lain sebagainya, seperti yang selama ini diberikan kepada orang- orang yang memiliki intelektual terbaik berdasarkan suatu evaluasi pada berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. 

Melalui iklim kompetitif yang dibangun ini, maka tentunya akan meningkatkan motivasi peserta didik untuk berlomba-lomba menjadi orang yang berkarakter terunggul di sekolah atau di lembaga pendidikannya. Bahkan antara satu dengan yang lainnya akan saling bersaing untuk memiliki karakter terunggul. Bila perlu diadakan berbagai jenis kegiatan perlombaan baik di tingkat lembaga pendidikan, di tingkat daerah maupun di tingkat nasional untuk meningkatkan semangat dan motivasi peserta didik dalam mengembangkan karakternya. 

Perlu diketahui, bahwa motivasi memiliki beberapa fungsi yang yang perlu diperhatikan dalam mengubah sesuatu, terutama yang berhubungan dengan karakter. Motivasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam setiap usaha sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka pencapaian tujuan tertentu (Anoraga dan Suyati, 1995). Menurut Sardiman (2012), ada tiga fungsi motivasi, yaitu: 1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan; 2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. 

Dengan demikian motivasi dapat memeberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya; 3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Jika hal di atas dilakukan secara tersitematis dan berkesinambungan pada berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, maka peserta didik (generasi bangsa) akan tumbuh menjadi pribadi yang unggul dan cerdas. 

Hal ini tentunya akan mengantarkan bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujun nasional, yaitu terciptanya suatu kehidupan bangsa yang cerdas, dimana masyarakatnya dapat hidup dengan aman, damai, dan sejahatera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup