Pertanyaan Tentang Kedatangan
Oleh: Kurniawan Gunadi
Perempuan itu menangis lama sekali, hampir sepertiga malam. Matanya sembab, merah, dan seperti tiada lagi air tersisa di sana. Detik melambat. Malam jadi terasa begitu panjang.
Dan perempuan itu terus menangis. Membicarakan apa saja yang memenuhi kepalanya. Menumpahkan semua keluh, kesah, dan sedikit sumpah serapah—entah pada siapa. Mempertanyakan segala pertanyaan yang menusuk-nusuk batinnya silih berganti pada lubang luka yang sama. Semuanya dilakukan dengan tersedan, napasnya terdengar semakin payah.
Aku memilih berbaring pada jarak tertentu, membiarkan perempuan itu memeluk dirinya sendiri. Tak ada kata, atau bujuk rayu apa pun yang bisa menghentikan tangisnya. Tak ada humor yang bisa membuatnya tertawa, atau sekadar menyunggingkan senyum di ujung bibirnya. Tak ada raba yang sanggup menenangkannya.
Jadilah aku pecundang yang hanya bisa menunggu. Mengawasi perempuan itu dengan perasaan cemas dan takut. Menanti dirinya kehilangan daya. Membujuk sisa-sisa malam untuk segera menelan tubuhnya yang lunglai, membawanya jauh dari pusat kesadaran untuk sejenak menepi dan beristirahat. Sehingga ketika gema azan hadir bersahutan, ia bisa cepat-cepat bangun, membasuh tubuhnya, bersujud, untuk kemudian melanjutkan tangisnya.
Kekasih, perempuan itu adalah ibumu. Dan peristiwa yang baru saja kuceritakan telah terjadi berkali-kali serupa déjà vu yang enggan pergi. Menjadikanku lelaki paling tak berguna di dunia.
Bagaimana meredakan tangis seorang perempuan karena rindu yang begitu dalam adalah pertanyaan yang tak kutemukan jawabnya. Atau, jika ini adalah ujian, ini ujian yang aku tak pernah lulus.
Kekasih…
Barangkali kehadiranmu, dan hanya kehadiranmu yang bisa menyembuhkan lukanya.
Komentar
Posting Komentar