PERANG, KEKERASAN DAN KHAYALAN SUPER STAR
“Apa hubungan agama dengan kekerasan? Kenapa agama yang mengajarkan damai, kedamaian dan harmoni tidak hanya antarmanusia, tetapi juga dengan lingkungannya dalam perjalanan sepanjang sejarah terlihat sering menjadi dasar dan justifikasi aksi kekerasan?”
Azyumardi Azra dalam tulisannya mengatakan Islam tidaklah penyebab terorisme. Begitu juga dengan agama-agama lain yang tidak terkait dengan tindakan kekerasan dan terorisme yang dilakukan kelompok yang memeluk agama tersebut. agama dalam masa sekarang jarang menjadi faktor tunggal kekerasan dan terorisme. Ideologi, tujuan dan dan motivasi agama sering berjalin-kelindan dengan faktor ekonomi, sosial dan politik. Keputusan dan tindakan kelompok tertentu melakukan kekerasan dan terorisme biasanya bersifat situasional dan jarang menjadi endemi bagi tradisi agama dari mana kelompok tersebut berasal. Orang atau kelompok manusia melakukan kekerasan karena berbagai alasan yang kompleks.
Dalam buku karya Karen Armstrong yang berjudul “Fields of Blood” membahas secara ekstensif kaitan antara keimanan sebelum munculnya agama sejak masa paling awal, ketika orang-orang masih hidup dari berburu dan bertani sekitar 2.750 tahun sebelum Masehi. Setelah itu karya ini mengkaji kekerasan dalam hubungan agama yang berkembang di India dan China. Armstrong dalam pengantarnya, mengatakan bahwa karya ini berfokus terutama pada agama-agama Ibrahim (Abrahamic religions); Yudaisme, Kristianitas, dan Islam. Ketiga agama ini tengah dalam sorotan sekarang. Selain itu, karena ada anggapan anggapan, monotheisme, kepercayaan kepada Tuhan Yang Tunggal, paling rentan terhadap kekerasan dan intoleransi. Jika agama Nabi Ibrahim yang monotheistik bagi sebagian kalangan sekarang ini disebut sebagai ‘lebih rawan’ terhadap kekerasan dan terorisme, bagaimana dengan agama-agama lain? Apakah agama pra-agraris, pra-Masehi yang kemudian sebagiannya berkembang menjadi Hindu, Budha, Tao, Shinto, dan lainnya tidak rawan?
Menurut Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Fields of Blood: Religion and the History of Violence (London: The Bodley Head, 2014), agama paling awal dalam sejarah berakar pada pengakuan terhadap fakta tragis; kehidupan manusia sangat tergantung pada penghancuran makhluk lain. Ritual yang dipersembahkan kepada kekuatan yang dianggap dapat memberikan perlindungan (tuhan) semata-mata untuk menyelamatkan manusia dari berbagai bahaya dan bencana. Dalam konteks itu, manusia pra-Masehi yang hidup dari berburu merasakan kepuasan ekstatik dalam perburuannya—membunuh makhluk lain. Pada saat yang sama merasakan adanya kekuatan maha besar yang membantu mereka. Namun penting dicatat, tulis Armstrong, mereka yang hidup dari berburu tidak mampu mengorganisasi atau melakukan perang dalam skala besar. Memang ada beberapa arkeolog yang mengklaim telah menemukan ‘kuburan massal’ manusia yang hidup pada periode pra-Masehi, tetapi tidak ada bukti meyakinkan manusia-manusia awal terlibat perang besar dalam skala besar dan waktu panjang.
Kehidupan manusia berubah dramatis sejak 9000 SM dengan bermulanya pertanian didaerah Levant (kini mencakup wilayah terbentang di antara Turki-Mesir-Iraq). Masyarakat manusia yang telah menetap ini tidak hanya berhasil memproduksi makanan, tetapi juga membiakkan manusia dalam jumlah besar. Hasilnya, sejak 8500 SM, mayoritas masyarakat manusia telah bertransisi ke dalam kehidupan pertanian. Lewat pertanian datanglah peradaban dan budaya perang. Jelas pertanian sangat rentan bencana. Karena itu masyarakat petani berjuang dengan cara apapun untuk melindungi tanaman mereka. Kembali di sini berlangsung pencarian atas kekuatan maha pelindung (tuhan). Bumi—tempat bercocok-tanam dipuja sebagai ‘tuhan ibu’ (mother goddess), yang kemudian disebut Ishtar di Mesopotamia, Demeter di Yunani, Dewi Isis di Mesir (bukan ISIS ekstrimis di Syria dan Iraq sekarang) dan Anat di Syria. Tetapi pemujaan terhadap sang dewi tuhan tidak menyejukkan, karena dia ternyata sangat senang pada kekerasan—bahkan dia digambarkan senang mencincang tuhan-tuhan lain yang menyainginya sebagai pelindung masyarakat petani.
Dengan demikian, menurut argumen Armstrong, mitos tentang tuhan dengan segera terwujud pula dalam realitas politik masyarakat petani. Pada saat yang sama pertanian juga menimbulkan agresi dalam bentuk lain, yaitu kekerasan struktural di mana masyarakat tertentu membuat orang-orang lain hidup dalam kenestapaan. Berbagai bentuk kekerasan baik perang maupun struktural segera memasuki ranah agama yang tidak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan, khususnya politik. Lebih lanjut, kekerasan sistemik yang mendapat dukungan dan justifikasi agama—karena para pemimpinnya yang bersekutu dengan kekuasaan politik—menjadi salah satu fitur utama negara agraris. Hasilnya, peradaban pertanian membuat kekerasan sistemik menjadi realitas untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, yang terus berlanjut dari masa ke sama sampai sekarang.
Dalam perspektif itu, Armstrong berhujjah, agama-agama India pra-Masehi telah selalu mengabsahkan dan mendorong kekerasan senjata dan struktural dalam masyarakat. Meninggalkan kehidupan duniawi (renunciation) bukanlah seperti yang dikira banyak kalangan ahli dan masyarakat dunia lainnya. Orang-orang yang menjauhi dunia (samnyasin) memang mencerminkan kritik terhadap kekerasan yang inheren dalam berbagai lapisan kehidupan. Tetapi, sepanjang sejarah India, renunsiasi atau asketisme selalu mengandung dimensi politik dan, karena itu, sering mendorong ide dan praksis penataan ulang masyarakat secara radikal.
Kerawanan agama India terhadap kekerasan, menurut Armstrong juga terkait dengan literatur yang sangat berpengaruh dalam masyarakat India: Bhagavad Gita dan Mahabrata. Armstrong menyebut Bhagavad Gita sebagai ‘India’s national gospel’ dan Mahabrata sebagai ‘the Indian national saga and is the most popular of all India’s sacred texts, familiar in every home’.
Dalam kajian Armstrong, pada abad 20, dalam masa penggalangan kekuatan massa untuk berperang melawan penjajah Inggris, Bhagavad Gita memainkan peran sentral dalam pembicaraan dan diskusi tentang legitimasi memerangi Inggris. Arstrong mencatat: “Its influence in forming attitudes to violence and its relations to religion has, therefore, been unparalled in India”. Pada pihak lain, Armstrong mencatat: “The Mahabrata is not an anti-war epic: innumerable passages glorify warfare and describe battles enthusiastically. Catatan Armstrong mungkin tidak menyenangkan bagi para pemeluk agama asal India. Tetapi dia memberikan pernyataan menyejukkan: “Kedua [kitab] Gita dan Mahabrata mengingatkan kita, tidak ada jawaban mudah terhadap persoalan perang dan damai. Benar, mitologi dan ritual India sering mengglorifikasi kerakusan dan perang, tetapi mereka juga menolong orang-orang menghadapi tragedi dan menemukan cara untuk mengusir agresi dari psike mereka, merintis cara tertentu bagi orang-orang untuk hidup bersama tanpa kekerasan. Kita semua adalah makhluk lemah dengan hati yang keras tapi rindu pada kedamaian”.
Armstrong bercerita bahwa dia selalu mendengar pernyataan orang tentang agama yang agresif dan kejam. Ada orang yang menyatakan misalnya; agama telah menjadi penyebab dari semua perang besar dalam sejarah. Kalimat seperti ini dia dengar berulang-ulang, menjadi semacam mantra, oleh para komentator dan psikiatris Amerika, sopir taksi London, dan akademisi Oxford. Pernyataan yang ganjil dan gegabah karena kedua perang dunia pada abad 20 jelas bukan disebabkan agama, juga bukan untuk mencapai kepentingan dan tujuan agama.
1959-1975 adalah masa perang Vietnam terjadi. Amerika Serikat pulang tertunduk lesu harus menerima kekalahan. Namun, kita akan susah menemukan pengakuan kekalahan itu, coba tonton film-film perang produksi Hollywood, tentara Amerika selalu menang dan jadi pahlawan. Politik perang Amerika juga tidak disukai generasi muda di sana. Maka lahirlah Generasi Bunga yang sangat membenci perang dan kekerasan. "Selesaikanlah dengan cara bunga". Secara halus dan perdamaian.
Flower Generation merepresentasikan “fight with flower” (lawanlah dengan bunga) yang melambangkan kelembutan, dan tidak dengan kekerasan. “Flower” (bunga) memang melambangkan sesuatu yang lembut. Hal itu sangat pas dengan keadaan pada zaman itu, dimana pemerintah Amerika sendiri mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat, terutama kaum muda, lalu melakukan berbagai perlawanan. Kebencian terhadap perang dan kekerasan juga disuarakan oleh John Lennon. Dia bermimpi atau lebih tepatnya mengkhayal dengan lagu "Imagine". "Bayangkan jika tidak ada negara, maka tidak ada alasan untuk membunuh atau dibunuh. Bayangkan jika tidak ada agama maka orang-orang akan hidup dengan damai". Sebuah khayalan dari seseorang yang menemukan "pencerahan" dalam dirinya sehingga membayangkan tidak ada sorga di atas dan neraka di bawah, yang ada hanyalah langit yang luas. Hmm.. memang ini cukup kontroversial, tapi inilah khayalan sang Super Star, yang tragisnya mati ditembak oleh penggemar beratnya.
Sejarah perang dalam setiap peperangan besar tercatat memang adalah perang yang berkaitan dengan agama. Perang Salib di abad pertengahan adalah sebagai contoh. Perang Salib (bahasa Latin: Expeditio Sacra, bahasa Inggris: Crusade) adalah serangkaian perang agama yang direstui Gereja Latin pada Abad Pertengahan. Perang Salib yang paling umum diketahui adalah kampanye-kampanye militer di kawasan timur Laut Tengah yang bertujuan membebaskan Tanah Suci dari penjajahan Islam, namun istilah "Perang Salib" juga digunakan untuk menyebut kampanye-kampanye militer lainnya yang direstui Gereja. Perang Salib dikobarkan dengan berbagai alasan, baik untuk memberantas penyembahan berhala dan ajaran sesat, untuk menyelesaikan pertikaian di antara pihak-pihak yang sama-sama beragama Katolik, maupun demi keuntungan politik dan wilayah. Ketika perang-perang semacam ini pertama kali berkobar, belum ada istilah "Perang Salib". Istilah ini baru mengemuka sekitar 1760.
Pada 1095, Paus Urbanus II menyeru dunia Kristen untuk mengobarkan Perang Salib Pertama dalam khotbahnya pada penyelenggaraan Konsili Clermont. Ia mengimbau para hadirin untuk memberi bantuan militer kepada Kekaisaran Bizantium dan Kaisarnya, Aleksios I, yang memerlukan kekuatan tambahan dalam menghadapi orang-orang Turki yang telah bermigrasi ke barat dan menjajah Anatolia. Salah satu sasaran yang ingin dicapai oleh Sri Paus adalah jaminan akses bagi para peziarah menuju tempat-tempat suci di kawasan timur Laut Tengah yang telah dikuasai kaum Muslim, namun para pakar tidak sependapat mengenai apakah jaminan akses bagi para peziarah adalah motif utama dari Sri Paus ataukah motif utama dari pihak-pihak yang menanggapi seruannya. Mungkin saja Sri Paus bermaksud untuk mempersatukan kembali belahan Timur dan belahan Barat dunia Kristen yang terpisah sejak peristiwa Skisma Timur-Barat pada 1054, serta menjadikan dirinya sendiri sebagai kepala Gereja bersatu. Kemenangan awal Perang Salib menghasilkan pendirian empat Negara Tentara Salib yang pertama di kawasan timur Laut Tengah, yakni Kabupaten Edessa, Kepangeranan Antiokhia, Kerajaan Yerusalem, dan Kabupaten Tripoli. Tanggapan yang antusias terhadap seruan Paus Urbanus dari seluruh kalangan masyarakat Eropa Barat menjadi preseden bagi perang-perang Salib selanjutnya. Para sukarelawan menjadi Tentara Salib dengan mengikrarkan kaul di muka umum dan menerima indulgensi paripurna dari Gereja. Sebagian berharap akan diangkat beramai-ramai ke surga dari Yerusalem atau mendapatkan ampunan Allah atas segala dosanya. Sebagian yang lain ikut serta demi menunaikan kewajiban feodal, untuk mendapatkan kemuliaan dan kehormatan, atau untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik.
Upaya dua abad untuk membebaskan Tanah Suci berakhir dengan kegagalan. Sesudah Perang Salib Pertama, masih ada lagi enam Perang Salib besar dan banyak Perang Salib yang kurang penting. Setelah kubu-kubu Katolik terakhir ditaklukkan pada 1291, tidak ada lagi Perang Salib, tetapi keuntungan yang berhasil dikumpulkan bertahan lebih lama di kawasan utara dan barat Eropa. Perang Salib Wendi dan perang-perang Salib yang dikobarkan oleh Uskup Agung Bremen berhasil mempersatukan seluruh kawasan timur laut Baltik serta suku-suku di Mecklenburg dan Lausitz di bawah kendali Katolik pada penghujung abad ke-12. Pada permulaan abad ke-13, Ordo Teutonik mendirikan sebuah Negara Tentara Salib di Prusia, dan monarki Perancis memanfaatkan Perang Salib Albigensia untuk memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Laut Tengah. Sepak terjang Imperium Osmanli pada penghujung abad ke-14 ditanggapi pihak Katolik dengan perang-perang Salib yang berakhir dengan kekalahan di Nikopolis pada 1396 dan di Varna pada 1444. Eropa Katolik berada dalam keadaan kacau-balau, dan simpul terakhir pertalian Kristen–Islam ditandai oleh dua peristiwa yang menggetarkan: jatuhnya Konstantinopel ke tangan Imperium Osmanli pada 1453, dan kemenangan akhir Spanyol atas bangsa Moro dengan takluknya Granada pada 1492. Gagasan Perang Salib terus hidup, sekurang-kurangnya dalam wujud Ordo Kesatria Hospitalis, sampai akhir abad ke-18, namun fokus minat orang Eropa Barat telah beralih ke Dunia Baru.
Perang Salib Rakyat memicu pembunuhan ribuan orang Yahudi, yang dikenal sebagai pembantaian Rhineland. Konstantinopel dijarah selama Perang Salib Keempat, sehingga usaha penyatuan kembali dunia Kristen pada saat itu mustahil terjadi. Pengepungan tersebut mengakibatkan melemahnya Kekaisaran Bizantium dan akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Ottoman pada tahun 1453. Para penguasa Eropa Barat tidak memberikan tanggapan yang jelas ketika kubu pertahanan Katolik yang terakhir di wilayah tersebut, Akko, jatuh pada tahun 1291.[1]
Ada beragam pendapat terkait perilaku tentara salib, mulai dari yang sifatnya pujian sampai yang sangat kritis. Dampak dari perang-perang salib sangat besar; mereka membuka kembali Laut Mediterania untuk perdagangan dan perjalanan, memungkinkan perkembangan Genoa dan Venesia. Para tentara salib melakukan perdagangan dengan penduduk lokal selama perjalanan mereka, dan para kaisar Romawi Ortodoks seringkali mengorganisir pasar-pasar bagi para tentara salib yang bergerak melalui wilayah mereka. Perang-perang Salib menggabungkan identitas bersama dari Gereja Latin di bawah kepemimpinan paus, dan dianggap sebagai suatu simbol kepahlawanan, sikap kesatria, dan kesalehan. Hal ini karenanya melahirkan sastra, filsafat, dan roman abad pertengahan. Bagaimanapun berbagai perang salib semakin mengukuhkan hubungan antara militerisme, feodalisme, dan Katolikisme Barat, yang mana bertentangan dengan Perdamaian dan Gencatan Senjata demi Allah yang dipromosikan Paus Urbanus.[2]
Kita juga tidak bisa menutup mata perang-perang di abad 20 juga awal 21, terutama di Timur Tengah menyikut agama.
1187 -1291 Zaman Islam di bawah Khalifah Ayyoubite. Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) seorang Kurdi, sesudah mendirikan pemerintahan Abbasid atas Fatimid Mesir, ia merebut kota Yerusalem dalam Perang Hattin. Tentaranya mengalahkan tentara Kristen dan kota-kota Kristen lain pun mulai menyerah. Benteng Krusader terakhir, yakni Acre pun jatuh pada tahun 1291. Pada waktu itu, tidak ada lagi sisa-sisa kerajaan dari Perang Salib karena semuanya dibunuh atau pun diusir. Walaupun ada berbagai usaha dan rencana lagi, namun orang Kristen tidak pernah lagi berkuasa di daerah itu sampai abad kesembilan belas.
Akhirnya, orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam diizinkan untuk kembali tinggal di Yerusalem. Pada tahun 1192, Richard “the Lion Heart” berusaha merebut kembali Yerusalem, namun tetap gagal. Jadi, diadakanlah perjanjian dengan Salah al-Din (Saladin) yang mengizinkan orang Kristen mengunjungi dan beribadah di tempat-tempat kudus mereka. Sesudah Yerusalem direbut kembali, Salah al-Din tidak mau membunuh penduduknya dan juga tidak menghancurkan gedung-gedungnya. Ada usaha besar dari orang Kristen selama Perang Salib untuk menghapuskan tanda penguasaan Islam di sana, tetapi tidak bisa. Di dalam pemerintahan baru Islam, gedung seperti Dome of the Rock, dijadikan mesjid lagi dan banyak gedung lain dijadikan sebagai institusi Islam.
Ketika Salah al-Din diancam dengan Perang Salib ketiga, ia membangun kembali tembok Yerusalem. Namun pada tahun 1219, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memerintahkan agar tembok tersebut dihancurkan kembali. Pada waktu itulah hampir semua penduduk Yerusalem meninggalkan kota tersebut. Sampai zaman Ottoman, 320 tahun kemudian, kota Yerusalem tetap tidak memiliki tembok.
Tahun 1244, Orang Turki Khawariz merebut Yerusalem. Waktu orang Turki Khawariz merebut Yerusalem, sekitar 7.000 orang Kristen yang tinggal di Yerusalem dibunuh selain 300 orang yang lari ke Yafa. Bukan hanya itu, serentetan serangan di seluruh daerah itu dari orang Mongol yang menyebabkan banyak penduduk mengungsi untuk mencari ke tempat yang aman. Pada tahun 1260, orang-orang Mamluk mengalahkan orang-orang Mongol pada Perang Ein Jalut di Lembah Yizril di depan Lembah Harmagedon. Setelah terjadinya serangan Khawariz dan Mongol, maka kota Yerusalem hampir kosong dan tidak berpenduduk. Hanya sesudah orang Mamluk menetapkan pemerintahan, maka kota itu dapat diduduki lagi. Tapi, karena pemerintahan Mamluk tidak mengembangkan ekonomi Yerusalem, maka kota itu tidak berkembang. Ia hanya membangun institusi agamawi, seperti mesjid, madrasah, zawia (biara), khanakah (pusat mistik Sufi) dan rumah sakit.
Setelah semua peristiwa itu terjadi, maka Yerusalem bukan lagi menjadi ibu kota kerajaan. Karena itulah, Yerusalem kembali menjadi kota kecil di pedalaman yang tanpa tembok dengan penduduknya sangat sedikit. Keadaan seperti inilah yang terus-menerus terjadi di Yerusalem sampai awal abad ke-20.
Jika agama-agama bumi (earthly religions) yang muncul sejak masa agraris secara historis dan sosiologis memunculkan teologi dan praksis kekerasan, bagaimana dengan agama-agama wahyu (revealed religions). Sekali lagi, ketiga agama Nabi Ibrahim (Abrahami religions), Yahudi, Kristianitas, dan Islam sering dipandang sebagian ahli dan awam ‘lebih rawan’ bagi kekerasan dan terorisme. Seperti dicatat Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Fields of Blood: Religion and the History of Violence (London: The Bodley Head, 2014), kalangan pemeluk ketiga agama Abrahamik sering menampilkan kekerasan yang mereka artikulasikan secara keagamaan. Dalam sejarah kekerasan—yang berlanjut sampai kini—misalnya paling menonjol adalah ‘perang suci Joshua’, penaklukan dan pembantaian kabilah Kanaan oleh bangsa Israel, 1530-1420SM; penaklukan Eropa Barat oleh Dinasti Umayyah, 710-756 dan Eropa Timur oleh Dinasti Turki Usmani, 1453-1683; Perang Salib Kristen Eropa terhadap kekuasaan Islam di Timur Tengah, 1096-1285; inquisisi Spanyol terhadap umat Islam dan Yahudi, 1478-1501; dan perang agama Eropa di antara para penganut denominasi Kristiani 1524-1648).
Daftar ini bisa sangat panjang. Hingga detik ini dapat ditemukan orang atau kelompok dalam ketiga agama Ibrahim terlibat konflik dan kekerasan atas nama agama. Kenapa demikian? Armstrong menjawab sejak awal munculnya agama melintasi zaman kuno dan abad pertengahan agama merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya dalam agama itu sendiri, tapi juga politik, ekonomi, sosial, budaya dan seterusnya. Setiap orang, apakah penguasa atau warga biasa ingin menancapkan agama ke dalam setiap apapun yang mereka kerjakan. Dalam konteks itu, setiap kerajaan yang berjaya mengklaim sebagai memikul misi suci ketuhanan untuk manfaat kemanusiaan. Sebaliknya, semua lawan negara adalah musuh tuhan dan sesat, dan karena itu wajib diperangi. Jadi kekuasaan politik yang membawa nama tuhan dibangun dan dipertahankan dengan kekerasan; agama menjadi terimplikasi dalam kekerasan. Namun, dalam pengalaman Eropa, agama (Kristianitas) pada abad 17 dan 18 dikeluarkan atau sedikitnya dimarginalisasikan dari kehidupan politik.
Memandang pengalaman Eropa, tidak heran kalau filsuf John Locke percaya, pemisahan ‘gereja’ (church) dan ‘negara’ (state) adalah kunci menuju perdamaian. Tetapi seperti juga terlihat dalam sejarah selanjutnya, negara juga jauh dari kekerasan dan perang. Setelah terjadinya pemisahan agama dan negara, tetap saja kekerasan dan perang dilakukan negara—meski kebanyakannya tidak lagi atas nama agama. Karena itu, menurut Karen Armstrong, masalahnya terletak bukan pada berbagai kegiatan atau ritual yang disebut atau terkait dengan ‘agama’, tetapi pada kekerasan yang terdapat dalam watak manusia dan negara. Inilah ironinya. Bangsa Israel sejak masa kuno sampai sekarang awalnya berusaha melepaskan diri dari negara eksploatatif dan kejam, tetapi mereka tidak bisa hidup tanpa negara dan kemudian juga bertingkah seperti semua negara lain. Menurut keimanan Kristiani, Yesus Kristus mengajarkan tentang Kerajaan yang penuh kasih dan inklusif, tetapi ia sendiri kemudian disalib penguasa Romawi. Begitu juga umat Muslim yang semula menjadi alternatif bagi ketidakadilan jahiliyah masyarakat pedagang Mekkah, akhirnya menjadi berbagai negara dinasti yang sering melakukan penindasan dan ketidakadilan.
Mengingat hal ini, Armstrong menganjurkan agar orang-orang beriman menjaga jarak dengan musuh, termasuk di masa sekarang ketika agama kembali ke kancah politik. Sekarang agama tidak jarang kembali menjadi isyu sentral, sehingga negara karena tekanan arus utama umat beragama dengan cepat menyatakan kelompok penganut agama tertentu sebagai sesat dan menyimpang yang dapat mengancam tatanan kosmis, teologis dan bahkan politik. Kebencian sektarian, salah satu sumber kekerasan agama, sering disebut menjadi penyebab intoleransi agama secara kronis. Perbedaan pemahaman dan praktek yang sebenarnya muncul secara alamiah dalam agama manapun, sepanjang sejarah sering sangat pahit, keras dan kejam. Apalagi pertikaian dan kekerasan sektarian hampir selalu bermuatan politis, baik dari segi kelompok agama pelaku kekerasan maupun dari segi negara.
Sekali lagi, negara penganut sekularisme—ideologi politik pemisahan agama dan negara—juga tak menjamin tidak terlibatnya negara dalam kekerasan. Prancis revolusioner bahkan menempuh penerapan sekularisme dengan pemaksaan dan pertumpahan darah. Sekularismenya didorong agresi terhadap agama. Sedangkan di Amerika Serikat yang menerapkan sekularisme ‘jinak’, kelompok fundamentalis Kristen menjadi anti asing (xenophobic) dan takut pada modernitas. Akhirnya, kekerasan (berbau dan bernuansa) agama masa sekarang bukanlah jatuh dari langit, atau dibawa makhluk asing (alien). Ia merupakan bagian integral dari lanskap kehidupan, yang terkait satu sama lain—dengan ekonomi, politik, sosial, budaya, hubungan internasional dan seterusnya.
Maka, tulis Armstrong, kehidupan masa kini yang penuh kekerasan atas nama agama, bisa membuat orang frustrasi dan stress, dan bahkan kehilangan bagian terbaik dari kemanusiaannya. “Kita harus membangun perasaan sebagai masyarakat global, menumbuhkan sikap saling hormat dan keseimbangan emosi (equanimity) bagi semua, dan mengambil tanggungjawab atas berbagai penderitaan di muka bumi”.
Nah, saya tidak mau menghubung-hubungkan lagunya John Lennon yang menyiratkan agama itu agak mengganggu kehidupan yang dikatakan dalam lagu "imagine". Namun, saya juga bisa membayangkan dunia tanpa adanya agama. Adalah bagaimana manusia "menerjemahkan" pesan-pesan dari agama menjadi pembangun peradaban bukan diterjemahkan menjadi penghancur peradaban. Faktanya berat sekali diimplementasikan terutama bagi sementara orang yang menerjemahkan agama hanya sebagai daftar menu ritual.
"Bayangkan jika manusia tidak punya kekayaan. Semua orang akan berbagi dan jauh dari kerakusan", ungkap John Lennon mengakhiri lagunya.
*Dari beberapa referensi (literatur) yang dikembangkan
Komentar
Posting Komentar