Media Massa Pilar Demokrasi Keempat Telah Runtuh

Wartawan hilir mudik memungut berita di pojok pengadilan. Mereka berhati-hati menulisakan alur berita agar bisa merebut headline esok harinya. Jessica membunuh mirna, harus tetap seperti itu agar masyarakat tetap pada rima menghayati alur yang sudah dibangun sedari awal. Terlepas siapa yang bersalah, pemberitaan kematian mirna sudah melawati batas. Bagi para pecinta drama korea pasti faham apa yang disebut batas. Tapi memang apa daya inilah indonesia, sinetron drama tidak cukup dengan berbelas episode saja. Beratus episode dan ber seasion-seasion memang sudah menjadi ciri media hiburan tanah air dalam membangkitkan gairah masyarakat. 

Wilayah Demokrasi Montesquieu (1689-1755) membagi demokrasi menjadi tiga wilayah kekuasaan yaitu eksekutif, legeslatif, dan judisial yang disebut Trias Politika. Ketika itu media massa belum masuk pada wilayah demokrasi, hingga Edmund Burke (1729-1797) mengatakan sambil menunjuk galeri pers di gedung House of Commons, “Di sana duduk wilayah keempat, dan mereka lebih penting dibanding semuanya.” Sehingga bertambah wilayah demokrasi keempat yaitu media massa. 

Media massa merupakan wilayah keempat yang menentukan segalanya. Ketika tiga wilayah lainnya sudah bersatu dalam makar yang menyengsarakan rakyat. Maka media massa menjadi andalan dalam menyuarakan kebenaran dan suara rakyat. Namun teori ideal tersebut menjadi utopis ketika diterapkan. Seperti halnya di Indonesia, ketika pemilihan presiden 2014 lalu, media massa berubah menjadi media dagelan baik majalah, tv, media online, maupun koran yang bergantian menghiasi otak kiri setiap insan. 

Menganalisis pemberitaan yang terkesan ‘dipaksakan’, sehingga kadang masyarakat terpaksa menggunakan otak kanannya ketika membaca berita yang beredar. Diawang-awang wae le, ojo serius-serius. Diangan-angan saja bro, tak usah serius-serius. Pemilik Kepentingan, dan Korporasi Bagaimana tidak, hal tersebut sangatlah lumrah terjadi. Media massa telah menjadi corong korporasi dan pemilik kepentingan. Pundi-pundi rupiah dikumpulkan untuk mememutar roda penanya. Sebut saja metro tv yang dimiliki Surya Paloh sebagai ketua Partai Nasdem, atau tv one yang dimiliki Aburizal Bakrie yang sempat menjadi ketua umum Partai Golkar, dan paling hangat adalah pemilik MNC group Hary Tanoesoedibjo yang baru saja mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). 

Media massa telah dikuasi oleh korporasi dan pemilik kepentingan, maka media massa sebagai pilar ke empat patut dipertanyakan andilnya dalam wilayah demokrasi. Dibius Saat ini publik sedang dibius oleh pemilik kantor berita yang berkuasa di panggung media massa. Per januari tercatat hutang indonesia tembus Rp 4.034 T dengan kurs rupiah 13.098 per Dolar AS. Lalu serbuan buruh china yang menggantikan tenaga kerja dalam negeri untuk menggarap berbagai proyek. Atau kasus reklamasi Pulau G teluk Jakarta, yang sempat dibekukan selamanya oleh Menteri Koordinator Maritiman Rizal Ramli karena melanggar amdal, merusak lingkungan, dan merugikan nelayan, dicabut dan dilanjutkan kembali pembangunannya oleh Luhut Panjaitan yang menggantikan Rizal Ramli pada reshuflle jilid 2 kabinet kerja. 

Masih banyak lagi masalah-masalah serius dan penting yang harus masyarakat tau dan mengerti. Namun, sayangnya pemeberitaan hanya dipenuhi oleh kasus konflik hiburan, kebakaran, dan kecelakaan. Sedangkan pemberitaan penting hanya diberitakan seadanya. Seperti kata Muhammad Zainul Majdi, ketika memberikan sambutannya pada hari pers nasional sebagai kapasitasnya seorang Gubernur Nusa Tenggara Barat, di atas mimbar di depan presiden serta pemilik media beliau berkelakar, “Berita yang dapat dipercaya hanya berita lelayu”. Orang nomer satu NTB yang biasa disebut Tuan guru Bajang memberikan contoh perilaku media massa di Mesir ketika beliau mengambil study di Kairo. 

Tak ada berita yang dapat dipercaya, kecuali berita lelayu atau kematian. Selebihnya tidak dapat dipercaya. Lalu bagaimana dengan media dalam negeri? Nampaknya tak jauh beda. Stupid Dog Media massa saat ini sudah sulit sekali diandalkan dalam berdemokrasi. Media yang seharusnya menjadi suara rakyat dan pembela kebenaran, kini telah menjadi suara pemilik kepentingan. 

Mereka bukan lagi menjadi watch dog, tetapi terus ter-erosi menajadi guard dog, dan terus merosot menjadi lap dog, kemudian menjadi circus dog, dan akhirnya lebih parah lagi menjadi stupid dog. Andai saja calon pengisi kolom berita di media massa melatih hati mereka dengan kepakaan, atau minimal mempunyai idealisme yang jelas di pikiran mereka. Sehingga seperti penyair yang menangis tersentuh saat membaca puisinya. 

Seperti sastrawan yang menumpahkan fakta permasalahan kehidupan dalam majas-majas dan analogi agar orang awam faham, atau seperti orataor yang merangkai kata kebenaran. Setidaknya meraka mempunyai kepekaan, dan pemikiran ideal dalam hatinya. Maka, berhentilah menulis sensasi, jika hanya untuk dimuat berita koran lokal. 

Berhentilah menulis kesombongan, jika hanya untuk tunjuk luasnya literasi. Dan berhentilah menulis omong kosong, jika hanya untuk menunjukan aku yang benar. Dan kepada para wartawan berhentilah menulis sianida. Mulai sekarang tulislah aliran dana penguasa!
Demikian kata wildan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup