KELUARGA BERUJIAN SURGA



Pernikahan bukan cuma mempersatukan seorang lelaki dengan seorang perempuan. Pernikahan menyatukan dua keluarga, bahkan kadang dua masyarakat. Oleh karena itu, mengawali komitmen pernikahan, salah satu yang harus kita tanamkan dalam diri kita adalah bahwasanya kita akan memiliki satu keluarga baru lagi. Seperti ujian pertama yang Allah sebut dalam Surat Al Baqarah ayat 155 adalah "Al Khauf", yakni rasa takut, gelisah, khawatir, cemas. Tapi ujian adalah tantangan memaknai, bukan menguji kemampuan. Sebab telah diukur kadarnya, takkan melampaui kesanggupan.


Pernikahan yang harmonis bukanlah pernikahan yang tiada konflik sama sekali, tapi kondisi ketika suami istri bisa menangani konflik yang ada dengan dewasa itulah keharmonisan. Adalah niscaya bagi kita memasuki pernikahan dengan komitmen iman. Dengan asma-Nya kita melepas sauh hingga di surga kelak berlabuh. Menikah bukanlah untuk berbahagia. Ialah menikah untuk beribadah kepada Allah Subhanallah Wa Ta'ala. Maka jadikan pernikahan kita sebagai bagian dari misi ibadah kepada Allah untuk meraih berkah. Karena berkah itu ziyaadatul khairi fii kulli hal; 'bertambahnya kebaikan di segala keadaan'. Semakin mesra kepada Allah di semua peristiwa, semakin dekat kepada Allah di berbagai ujian hidup; lapang ataupun sempitnya, susah ataupun senangnya, kehilangan ataupun mendapatkannya. Semua keadaan itu dalam rangka ibadah. Maka kita mengharapkan ada barakah. 


Sungguh istri dan anak adalah kesenangan hidup di dunia. Maka yang menjadi tugas hidup kita adalah mengupayakan agar kelak berkumpul kembali, bahagia di surga yang abadi. Sungguh istri dan anak adalah titipan amanah-Nya. Maka kita juga ditugaskan menjaga, agar kelak saat dikembalikan, mereka sesuai dengan keadaan awalnya, yakni berada di atas fitrah sucinya. Sungguh istri dan anak termasuk karunia paling berharga dari-Nya. Sudahkah tertunjukkan rasa syukur atas kehadiran mereka; di lembutnya kata dan syahdunya mesra? Sungguh istri dan anak adalah juga fitnah dan ujian yang nyata. Dalam membersamai dan menyenangkan, akan selalu ada pergulatan antara hasrat dengan keterbatasan, keinginan dan pemahaman, cinta dan peraturan, serta hawa nafsu dan bimbingan. Di sanalah ketaatan pada Allah diguncang dan kesetiaan pada Rabb kita ‘Azza wa Jalla dicoba.


Salah satu prasangka yang sering tumbuh di dalam kehidupan rumah tangga yang sudah berjalan selama lima sampai sepuluh tahun, atau lebih, adalah prasangka yang berbahaya, yang berbunyi "seharusnya dia sudah tahu." Masing-masing mengasumsikan pasangannya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Pasangannya sudah tahu apa yang seharusnya ditanggapi dari suatu kondisi yang ada pada dirinya. Hal-hal semacam ini tidak benar karena komunikasi justru harus semakin intens. Komunikasi justru harus semakin banyak dilakukan. Bicara dari hati ke hati semakin akrab, semakin kokoh ketika kemudian orang melewati masa-masa pernikahan yang berjalan semakin jauh. Prasangka ini hanyalah membuat kita menggerutu di dalam hati. Membuat kita merasa capek dengan tindakan pasangan yang tidak sesuai harapan, dan seterusnya. Maka daripada kita menggerutu dengan mengatakan "seharusnya dia sudah tahu," saling bertanyalah kepada pasangan. 


"Kalau engkau sedang begini, apa yang seharusnya saya lakukan? Ketika engkau sedang marah, apa yang engkau sukai dari saya? Apakah saya harus begini, apakah saya harus begitu? Apa yang harus saya lakukan?" Ini harus dikomunikasikan. 


Inti dari rumah tangga adalah mengkomunikasikan segalanya ketika kita tidak lagi hidup sendiri. Mengkomunikasikan segalanya karena kita hidup bersama pasangan kita. Memberi surprise itu baik tetapi selain memberi surprise, berbincang bersama tentang hal-hal yang akan dilakukan bersama, tentang hal-hal yang mempengaruhi semua gerak hidup dalam rumah tangga kita.. dibicarakan, dikomunikasikan, disampaikan, daripada menebak-nebak, menduga-duga dengan asumsi "seharusnya dia sudah tahu." Maka, sebaiknya kita bicara.


Rumus keberpasangan sebenarnya sangat luas, tidak hanya satu. Ada yang sama, seperti dua sungai bergabung menjadi arus yang lebih besar. Oh, Pak "A" dan Bu "B" mirip, maka mereka suami-istri yang harmonis. Ada seperti panas dan dingin, berkumpul menjadi hangat. Kita juga melihat Pak "A" yang sangat berbeda dengan Bu "B" tetapi mereka hidup dalam pernikahan yang langgeng. Ada tanah subur yang ditimpa hujan lalu menumbuhkan bebijian. Ada juga seperti angin ribut berjumpa dengan laut yang tenang, berubah menjadi badai. Tapi kalau itu adalah badai kebaikan seperti Rasulullah seorang yang bagaikan angin semangatnya untuk berbuat kebaikan dan Ibunda Khadijah yang bagaikan lautan; ketenangan, kedalaman, dan segala yang dimilikinya, bergabung mereka menjadi badai kebaikan yang tak berhenti menebarkan manfaat, maslahat bagi ummat sampai hari kiamat.


Baarakallahu laka Wa baarakallahu 'alaika Wa jamaía bainakuma fii khaiir. Di saat apapun barakah itu membawa kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad. Barakah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah yang sedang membadai rumah tangga kita. Barakah itu membawakan senyum meski air mata menitik-nitik. Barakah itu menyergapkan rindu di tengah kejengkelan. Barakah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah.


Menghimpun ketaatan, menjadikan rumah tangga berkah. Berkah dalam duka cita, bertambahnya kebaikan di sisi Allah. Masyaallah


*****


Dari seorang istri untuk suaminya Abdul Kahar 🙂


*****


Maroji':


- Salim Fillah_Bahagianya Merayakan Cinta

- Abdul Kahar, Dian Rahmana Putri_Menikah Bukan Untuk Bahagia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup