Tidak Pacaran Tapi Menikah
Kadang, kita terjebak pada cinta yang salah. Mungkin karena masifnya cerita yang dibumbui drama, baik di film atau novel yang kita konsumsi, kita pun berpikir seperti itulah cinta sejati yang sebenarnya.
Cinta yang memperjuangkan kita setengah mati saat ingin pergi. Cinta yang harus terus-menerus mengikuti saat kita memiliki keinginan. Kalau pasangan tidak mengikuti keinginan kita, artinya tidak cinta. Kalau kita melakukan tindakan yang tidak masuk akal, dan si pasangan kesal, artinya dia kurang sabar & kurang cinta.
Padahal, bukannya itu namanya cinta buta kalau harus terus-menerus mengikuti keinginan kita?
Apakah itu cinta yang mendewasakan, saat kita tidak belajar penolakan, mengalah, kompromi, negosiasi, empati, saling menghargai, dan komunikasi?
(Kurang lebih seperti itu yang ditulis oleh mbak Nimas di akun media sosialnya)
-----------
Banyak di antara muda-mudi kita yang sampai saat ini masih terjebak dengan hubungan yang menjadikan mereka susah dan galau untuk meneruskan hubungan mereka menjadi hubungan resmi yang kuat perjanjiannya dengan akad nikah.
Hubungan 'pacaran' yang mereka maksudkan untuk saling mengenal satu sama lain nyatanya tak menjadi jalan baik untuk menyatukan ikatan hati secara sah. Alhasil, si perempuan menjadi pihak yang sangat dirugikan.
Si ikhwan memacari tapi tak mampu bertanggungjawab untuk menikahi, Si ikhwan memberikan janji untuk menikahi dengan tenggat waktu yang lama, meminta menunggu dua-tiga tahun lamanya. Menjadikan pihak perempuan menunggu dan menanti dengan ketidakjelasan status. Padahal tidak ada komitmen sebelum pernikahan. Menunggu dua-tiga tahun atau lebih bukanlah waktu singkat, dan selama proses menunggu, tidak menjamin si ikhwan masih mengingat janjinya dan tidak menjamin ia masih menjaga amanahya. Bila sudah siap menikah, maka nikahi. Bila belum siap menikah maka ikhlaskan!
Menikah memang bukanlah jalan keluar atas setiap masalah, menikah bukanlah pelarian, tetapi ia adalah segmen kehidupan yang seharusnya membuat lecutan dalam kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik lagi. Jika alasan menunda menikah untuk membahagiakan orangtua terlebih dahulu, ingin kerja terlebih dahulu namun dengan berani menggantung perasaan seorang perempuan. Maka baiknya si perempuan segera mengikhlaskan perasaannya. Galau pasca mengikhlaskan hanyalah ujian yang kelak kita syukuri, bahwa ia 'semoga' menjadikan jiwa kita terbeli (keimanan level tinggi) sehingga keyakinan kita begitu kuat pada Allah, tarikan dunia mengalahkan tarikan keimanan.
Segalau-galaunya kita, tidak boleh menjadikan kita berputus asa dari Rahmat Allah. Begitu luas kebesaran Allah, tak pantas manusia mengkerdilkan Allah dengan doa yang terdengar seperti pupus harapan. Seorang alim menjadi terhina gara-gara bujuk rayu nafsu mata yang tak henti-hentinya menatap segala kenikmatan yang tidak halal baginya.
"Teman-teman akrab (yang berkasih-kasihan) pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." Maka diperlukan kehati-hatian kala membangun cinta di dunia ini. Sebab, banyak orang yang di dunia ini saling mencintai, mengasihi, dan berkasih-kasihan, kelak di akhirat mereka justru saling bermusuhan. Kecuali orang yang membangun cintanya atas landasan takwa karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Kita diperintahkan untuk menjaga cinta atas landasan takwa. Mencintai keluarga, istri, teman, maupun non muslim karena Allah semata. Untuk kemudian mengembalikan cinta kepada fitrahnya yang suci. Yaitu cinta yang dibangun atas landasan iman dan takwa. Sebab, cinta seperti itulah yang akan terus dibawa hingga ke akhirat kelak.
-----------
Mereka diperdaya oleh perasaan cinta yang membutakan. Tak ingin menerima nasehat baik dari orang disekitarnya, Tak ada keburukan pasangan yang nampak. Padahal pacaran sebelum menikah hanyalah ladang mengumpulkan pundi-pundi dosa. Bukan hanya hubungan pacaran, tetapi ada juga yang mereka sadar bahwa pacaran itu tidak ada dalam islam. Akhirnya, memilih untuk saling komitmen menjaga hati, menjalin hubungan tanpa status, saling lempar perhatian, chatingan hingga larut malam, teleponan, ketemuan, dan lain-lain, Yang kesemua itu sungguh telah diatur dalam Islam, agama yang kita cintai. "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (Qs. Al-Isra' :32)
Allah memerintahkan kita untuk menjaga pandangan, menjaga seluruh anggota tubuh kita untuk tidak mendekati zina. Sebab suka tidak suka, kelak semua anggota tubuh akan dimintai pertanggungjawaban.
Dengan dalih belum siap menikah, ingin kuliah dulu, mau fokus kerja, bahagiakan orangtua, dll. Membuat mereka menempuh jalur yang salah, karena mencintai lawan jenis dan belum siap menikah. Padahal, tidak ada obat bagi dua orang yang saling mencintai kecuali dengan menikah. Sungguh Allah telah mengatur rejeki setiap manusia, namun bila belum siap. Maka mengikhlaskan adalah jalur yang baik. Barangkali mengikhlaskan untuk kemudian dipertemukan dalam keadaan yang benar-benar sudah siap menikah.
Bila kelak tidak ditakdirkan bersama, maka Allah siapkan seseorang yang juga adalah cerminan dari diri kita. Itulah jodoh. Kehilangan memang amatlah sulit, lebih-lebih mengikhlaskan sangatlah berat. Tetapi janji Allah itu pasti; "siapa yang meninggalkan sesuatu yang haram karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik."
Tidak Pacaran tapi Menikah. Lalu saya belajar bahwa cinta sejati itu adalah cinta yang membuat kita bertumbuh. Cinta yang membuat kita semakin hari semakin baik. Cinta yang bukan memiliki goncangan hebat seperti roller coaster, namun cinta yang teduh dan mungkin tak terlihat kasat mata namun selalu ada dan kita butuhkan seperti oksigen bagi tubuh kita. Cinta yang biasa-biasa saja.
Dulu, saya menginginkan kisah cinta yang dramatis seperti apa yang sering saya baca dan tonton. Namun setelah dewasa, saya tahu, yang saya butuhkan adalah cinta yang biasa-biasa saja.
Seperti kehidupan pada layaknya, sebagian besar dilalui & diakhiri dengan hari yang biasa-biasa saja. Bangun dan akhirnya tidur kembali.
Bukankah itu yang kita butuhkan pada akhirnya? Memiliki pasangan & anak yang selalu hadir, dengan canda tawa pelukan. Hal yang biasa, tanpa perlu sesuatu yang bombastis. Tanpa perlu berlibur ke tempat yang wah.
Cinta yang biasa juga menggiring kita memiliki pikiran yang senantiasa ringan. Tidak dipenuhi drama. Bahwa pasangan ketiduran saat diajak ngobrol bukan berarti ia cuek namun lelah setelah mencari nafkah.
Tidak Pacaran tapi Menikah. Menghimpun ketaatan. Menjadikan rumah tangga berkah. Berkah dalam duka cita. Bertambahnya kebaikan di sisi Allah.
Like
BalasHapus