Kita Manusia Biasa, Bukan Malaikat

 


Dalam sebuah kesempatan, seorang ukhti berkata, "kami meminta maaf atas segala kesalahan, sebab kita sedang bekerja sama dengan manusia biasa, bukan dengan malaikat..." Mendengar kata-kata itu, saya tertegun. Ya, betapa kadang kita terlalu banyak menyimpan harapan pada orang lain, hingga tanpa sadar menganggapnya bukan lagi manusia yang tentunya, punya sisi manusiawi sehingga memungkinkan untuk memperlihatkan tingkah "negatif", baik secara disengaja maupun tidak. 

Pertama kali bergabung dengan jalan dakwah, saya sempat pula berpikir demikian. Karena tertarik dengan kelembutan serta keramahan akhwat yang membuat saya jatuh cinta dan akhirnya memilih bergabung dalam sebuah keteraturan. Saya sempat menganggap bahwa mereka, akhwat-akhwat itu sebagai sosok yang tanpa celah. Saya pikir, bergabung dengan mereka tentu akan terhindar dari sakit hati, perasaan tidak enak, ataupun hal-hal lainnya yang tentu akan kita dapati jika berinteraksi dengan orang lain. 

Tapi, seiring dengan berjalannya waktu. Terlibatnya saya dengan banyak saudari dalam berbagai kesempatan, berkenalan dengan semakin banyak akhwat, dan berbagai takdir Allah lainnya rupanya saya kemudian diantarkan untuk berusaha memahami bahwa bagaimanapun, mereka juga manusia biasa. 

Benar bahwa mereka adalah orang-orang berilmu dan beradab yang tentu saja senantiasa berusaha mengamalkan ilmunya dan mengejawantahkannya dalam bentuk akhlak mulia ataupun kata-kata yang santun. Tapi terlepas dari itu, mereka tetaplah bukan malaikat yang senantiasa bersih dari salah dan khilaf. Sekali lagi, mereka adalah manusia biasa. Akhwat juga manusia!

Namun, kadang ada orang yang terlalu tinggi pengharapannya dan merasa agak sulit untuk memahami hal tersebut. Dampaknya bisa bermacam-macam, mulai dari ukhuwah yang merenggang, hingga memilih mundur dari jalan dakwah. Saya pikir, itu salah satunya karena kita kadang terlalu menganggap sempurna sosok saudari kita, sehingga saat terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan itu, kita begitu merasa sakit akibat terlalu banyak berharap.

Ya, setiap manusia tidak terlepas dari salah dan dosa, bahkan manusia-manusia yang telah dipilih Allah dengan hidayah-Nya. Jangan sampai karena hanya sekali melihat kesalahan dari saudari kita, kita kemudian begitu mudah untuk melupakan kebaikannya yang mungkin lebih melimpah. Seperti halnya kita juga ingin dipahami sebagai seorang manusia yang utuh dengan segala kekurangannya seperti itu pulalah kita harus berusaha memahami orang lain. 

Mungkin benarlah bahwa cinta yang sesungguhnya adalah saat kita dapat mencintai seseorang apa adanya. Mencintai kebaikannya untuk kita teladani dan menerima kekurangannya untuk berusaha ikut membantu memperbaiki. Dengan itu, semoga langkah ini semakin mencipta harmoni, sebab kita sama-sama tahu betapa indahnya jika kita dapat mencipta keindahan lewat ukhuwah itu dalam hidup ini.

- Merajut Benang Cahaya, Arrifa'ah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup