Big Family Big Deal

Ingat pohon silsilah keluarga yang kita buat waktu SD?

Kakek, nenek, paman, bibi, uwak, sepupu, dan seterusnya.

Keluarga besar. Saudara sedarah yang kita telah tumbuh bersama mereka.

Saat arus deras waktu menyeret keadaan, saat perjalanan agaknya mulai membedakan keyakinan dan pemahaman, saat hari ini kembali ditemukan, bagaimanapun, satu keluarga besar, selalu butuh kesepakatan besar.

Sepakat untuk selalu menjadi yang paling pertama memberi bantuan.
Sepakat untuk tetap menjadi yang paling dekat mengingatkan.
Sepakat untuk selamanya saling mendoakan.

Perhatikan Keluarga besar kita, orang-orang yang memang tidak setiap hari membersamai. Cerita dan kisah masa kecil bersama mereka terkadang menjadi topik favorit saat berusaha menyatukan pribadi yang semakin berbeda, pemikiran yang tak lagi sama, pengalaman, tujuan dan pendapat yang tak sejalan.

Namun prinsip tak tertulis keluarga besar adalah selalu bersepakat.

Sepakat untuk saling menyesuaikan.

Mereka yang cerewet, kakek atau nenek, sering sekali memprotes kelakuan anak cucunya, mengomentari pakaian yang tak pantas, menyuruh menutup gorden padahal masih jam empat sore, melarang potong kuku malam hari, meletakkan sapu terbalik di samping pintu, dan berbagai petuahnya yang terdengar sumbang, ternyata justru itulah yang akan paling dikenang dan dirindukan.

Paman, uwak, dan laki-laki dewasa lainnya yang terlihat senang sekali dilayani hidangan hari raya, lahap menghabiskan ketupat, menyantap rendang, membersihkan mangkuk opor ayam, sambal ati, dan sup iga ternyata juga para ayah yang sangat bertanggung jawab membantu membuang sampah-sampah, turut membersihkan dapur, mengantar rombongan ke berbagai tujuan, dan yang paling rela dompetnya seketika mengempis demi keluarga besar.

Para ibu yang menjadi super sibuk sejak jauh-jauh hari menyiapkan segala rupa, ternyata yang juga bisa tergeletak lelah dalam tidur panjang. Menikmati. Melupakan sejenak piring-piring yang kembali menumpuk, cucian dan setrikan yang mulai menggunung. Biarlah, karena Ini hari keluarga besar, terlalu spesial untuk melewatkannya dengan rutinitas kan?

Para remaja dan pemuda saling bertukar cerita tentang sekolah, kuliah, kerja, dan kisah cinta, ternyata yang saling berusaha keras mengerti berbagai sudut pandang. dan anak-anak, yang harus bersedia jadi sasaran sorot perhatian ternyata yang dunianya sederhana; ingin disuapi saat lapar, tidur saat mengantuk, menang dalam perebutan mainan, mendapat uang jajan, dan memilih menangis saat disuruh menghafal dan memanggil berbagai wajah dengan panggilan tante ini, paman itu, uwak A, bibi B, teteh C, mbak D, dan sebagainya .

Ada yang bersemangat bercerita kisah sukses, ada yang antusias mengabarkan tanggal penting; sidang kelulusan, pernikahan, dan kelahiran. Ada yang diam saja, menikmati kebersamaan dalam sunyi. Ada yang sibuk menyendiri dengan akun pribadinya di media sosial, ada yang galau, menghela napas serba salah karena belum punya keberanian untuk mengabarkan dan menyampaikan. Tentang pengetahuannya soal aurat, tentang aturan bersalaman, tentang prinsip dan keyakinan yang diusung dengan gagah berani di luar sana, namun justru biasanya terahasiakan pada keluarga sendiri. Bagi orang-orang ini, sebenarnya mungkin bukan berniat merahasiakan. Sepertinya hanya sungkan. Padahal ada banyak kabar langit yang ingin ia sampaikan. Padahal ada banyak kisah sejati yang ingin dibagikan.

Big family, big deal.

Sebenarnya dengan dua kalimat itu, berdakwah di keluarga besar seharusnya bisa efektif. Karena untuk kebaikan, setiap jiwa niscaya bersepakat. Hanya saja faktanya, untuk orang-orang tertentu, selain teman dan dukungan, ada satu kalimat penting yang dibutuhkan sebelum itu semua;

Be brave!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup