Jangan Berhenti Mencintai

Mencintai karena Allah artinya mencintai dalam kebaikan, dan saling mengingatkan dalam kebaikan, kebenaran dan kesabaran.

Nah…Ternyata mencintai karena Allah itu tidak mudah. Kalau ada yang kita rasa salah dan kita ingin membantu meluruskan kadang kita takut mengingatkan. Kita takut hubungan itu rusak.

Lebih luas lagi, kalau kita ingin mewujudkan tujuan yang Allah berikan pada kita, menjadi khalifah Allah yang berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran, membawa berkah bagi semesta, maka kita harus mengingatkan orang yang lebih banyak lagi. Mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.

Adakah rasa gentar? Rasa takut dibenci banyak orang? Dihina? Dianggap kuno, kolot, atau cap lain yang tidak enak?

Adalah rasa lelah? Rasa lelah karena tak ditanggapi, tak diikuti? Tak digubris?

Lelahkah sahabat mempersiapkan acara? Menembus lalu lintas yang macet, panas, dan membuat badan penat luar biasa?

Seorang khalifah besar, Umar bin Abdul Azis, tubuhnya hancur dalam rangka dua tahun masa kepemimpinannya. Tubuhnya yang perkasa rontok, kemudian sakit lalu syahid. Beliau bekerja sangat keras sehingga saat itu umat kebingungan siapa yang harus diberi zakat. Tak ada lagi orang miskin yang layak diberi infaq.

Memang seperti itulah bekerja untuk Allah. Bekerja atas dasar cinta, cerminan sifatNya yang Rahman dan Rahim.

Cinta akan meminta semuanya dari dirimu.

Sampai pikiranmu.

Sampai perhatianmu.

Berjalan, duduk, dan tidurmu.

Syekh Musthafa Masyhur mengatakan
“Jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang tapi adalah jalan yang paling aman untuk mencapai ridho-Nya.”

Inilah hadiah untuk kepenatan kita, lelahnya tubuh, gusarnya hati, bahkan resahnya jiwa.

Saat Allah ridho, maka apalagi yang kita risaukan?

Saat Allah ridho semua akan menjadi indah, karena surga akan mudah kita rasa, dengan izinNya.

Rasulullah begitu berat dakwahnya.

harus bertentangan dengan banyak kabilah dari keluarga besarnya.
Mush’ab bin Umair harus rela meninggalkan ibunya.
Salman harus rela meninggalkan seluruh yang dia kumpulkan di Mekkah untuk hijrah.
Asma’ binti Abu Bakar rela menaiki tebing yang terjal dalam kondisi hamil untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya dan Rasulullah.
Hanzholah segera menyambut seruan jihad saat bermalam pertama dengan istrinya.
Ka’ab bin Malik menolak dengan tegas suaka Raja Ghassan saat ia dikucilkan.
Bilal, Ammar, keluarga Yasir kenyang dengan siksaan dari para kafir.
Abu Dzar habis dipukuli karena meneriakkan kalimat tauhid di pasar.
Ali mampu berlari 400 KM guna berhijrah di gurun hanya sendirian.
Usman rela menginfakkan 1000 unta penuh makanan untuk perang Tabuk.
Abu Bakar hanya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya.
Umar nekat berhijrah secara terang terangan.
Huzaifah berani mengambil tantangan untuk menjadi intel di kandang musuh.
Thalhah siap menjadi pagar hidup Rasul di Uhud, hingga 70 tombak mengenai tubuhnya.
Zubair bin Awwam adalah hawariinya rasul,
Al Khansa’ merelakan anak-anaknya yang masih kecil untuk berjihad.
Nusaibah yang walaupun dia wanita tapi tak takut turun ke medan perang.
Khadijah sang cintanya rasul siap memberikan seluruh harta dan jiwanya untuk Islam, siap menenangkan sang suami di kala susah.

Atau mari kita bicara tentang Nabi Musa as, mulutnya gagap tapi dakwahnya tak pernah pudar.

Ummatnya seburuk-buruknya ummat, tapi proses menyeru tak pernah berhenti.
Nabi Nuh, 950 tahun menyeru hanya mendapat pengikut beberapa orang saja, bahkan anaknya tak mengimaninya.

Nabi Ibrahim as dibakar Namrud.
Nabi Ayub sakit berkepanjangan tapi tetap menyeru.

Nabi Ismail as rela disembelih ayahnya karena ini perintah Allah.

Deretan sejarah di atas adalah SEBAIK-BAIKnya guru dalam kehidupan kita.
Sekarang beranikah kita masih menyombongkan diri bersama jalan dakwah yang kita lakukan saat ini?

Mengatakan lelah padahal belum banyak melakukan apa-apa? Bahkan terkadang kita datang menyeru dengan keterpaksaan, berat hati kita, terkadang menolak amanah untuk menjadi khalifah?

Kita memang bukan Nabi, bukan Rasul, tapi kita semua adalah Khalifah Allah, pemimpin dalam jalanNya. Kita dilengkapi dengan semua potensi yang kita butuhkan untuk menjadi Khalifah. Dan semuanya harus kita pertanggungjawabkan.

Siapkah kita bertanggung jawab?

Marilah kita beristirahat, berjalan tertatih, bahkan merangkak kalau perlu.

Tapi janganlah berhenti mengingatkan pada kebaikan. Janganlah berhenti menggapai ridloNya. Janganlah berhenti menjadi tanganNya. 

 Janganlah berhenti mencintai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup