P U N D A K M U (KAH) ?
Sekali lagi, "Kita" adalah angan yang menguap perlahan oleh teriknya ambisi-ambisi. Manusia memang tak terlepas dari pilihan-pilihan, keputusan-keputusan, termasuk memilih untuk senyap menjauh. Bukan apa-apa, ketidaktahuanku bahwa tidak selamanya keadilan berarti hidup harus sama rata, sama rasa. Membuat semesta menegurku atas apa yang aku inginkan namun jauh dari yang berhak aku dapatkan.
Persoalan klasik. Namun siapakah yang tidak mendambakan pundak yang menjanjikan keteguhan ? Terlalu berlebihan kah ? Jelas tidak, bukan ?
Selama ini aku adalah perempuan yang tak pernah percaya pada pundak siapapun *Kecuali bapak* .
Bukan tentang kesombongan yang terpiara dipuncak hati. Melainkan tentang kehati-hatian, hati yang menikmati perjuangan seorang diri; sendiri.
Lalu, pantaskah penyesalan-penyesalan menjadi akhir cerita ? Aku menulis ini bukan untuk mengais harap. Sebab hati tidak mendidik ku menjadi pengemis. Kita telah istimewa dengan rezki yang telah dijatahkan Tuhan, masing-masing. Termasuk sekedar pundak untuk bersandar yang bukan semata untuk kelelahan fisik, tapi juga hati.
Rasanya terlalu instan untuk menghadirkan jawaban tentang persoalan-persoalan perasaan.
Yang sedikitpun bukan kuasa kita.
Kembali lagi, mematut diri memang kewajiban yang nyata harus terpenuhi.
Lalu, pundakmu kah ?
Yang akan menjadi tempat berpulang paling tenang ?
Atau sebagai teman di perjalanan yang paling mendamaikan.
Hanya Allah yang kuasa atas hati.
Komentar
Posting Komentar