Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

Perempuan dan Literasi Kemajuan Bangsa

Dalam sebuah adagium Arab teruar: al-umm madrasatul ula, Ibu adalah sekolah pertama bagi anak. Pada fase 0-5 tahun yang oleh para pakar parenting disebut golden age itu, peran seorang Ibu teramat urgen. Dekapan, sentuhan, dan pola asuh seorang Ibu merupakan fitrah di mana bakal berimbas pada tumbuhkembang seorang anak hingga membekas di usia dewasa kelak. Karena itu, kiprah Ibu dalam konteks domestik macam itu, justru di samping berderajat mulia, juga menibakan pesan bahwa para kaum hawa memegang posisi kunci dalam menyiapkan generasi penerus bangsa yang hebat. Dalam jabaran yang lebih luas, peran ibu atau lebih tepatnya perempuan secara umum, juga diaminkan oleh realitas keseharian. Hampir-hampir semua para pendidik di jenjang sekolah pendidikan usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK) merupakan seorang perempuan. Kesabaran, kecermatan, serta bingkai patri berupa kasih sayang telah menghunjam mendalam kepada kepribadian seorang perempuan. Dengan demikian, peletakan pondasi pendidi

JATUH

Aku pernah jatuh pada masa-masa dimana kekalahan dan luka tak sanggup membuat kaki ini berdiri tegak lagi. Menyambung kebermaknaan ketika keterpisahan dan pertemuan menjadi semacam alasan untuk kita tetap melangkah bahagia. Belajar untuk menjadi pemberani ketika kekalahan lebih sering tiba dalam perasaan-perasaan takut yang tak sanggup kita raba. Melawan kenyataan dimana senandung sunyi menjadi semacam alasan yang memberangkatkan kita kemudian. Menitip sebagian makna atas kabar dan pelajaran-pelajaran tak berhingga yang menghitung langkah-langkah kita sendiri. Meringankan sebagian jarak dimana kebaikan dan keburukan menjadi semacam kawan yang akan menemani kita sampai akhir perjalanan. Mencatat sebagian sejarah ketika jatuh mampu membuat kita bangkit dan bangun kembali. Mempersilahkan mimpi-mimpi itu untuk terus bertumbuh dan menjadi semacam pengingat bahwa masih ada perjuangan dan pekerjaan yang mesti kita selesaikan sampai halaman paling akhir. Merindu masa-masa dimana panen bahagia

Lelakumu Ayah

Aku tulis surat ini untuk menandai hening suaramu. Tegak pendirianmu juga jelas langkahmu. Saling merengkuh lalu kita pernah terdiam sembari sesekali membayangkan betapa pendeknya jarak antara hidup dengan apa yang kita perjuangkan. Sembunyi-sembunyi lalu sesekali kita tertawa mengenang tiap kisah itu. Membandingkan banyak lelaku yang tercerabut dari kisah panjang kita kemarin petang. Dan di sini, pada setiap bilah pengembaraan. Aku masih mengenang hikayat terbaikmu. Hikayat yang tak pernah berkhianat ketika jalan juga cara kerjamu tetap menyambung alasan-alasan terbaik untuk pulang menuju tempat paling indah di palung hatimu ketika sabar menjadi doa tanpa jeda. Ayah, aku bahagia bisa menyaksikan semua hikayat panjang itu. Hikayat tentang cinta yang tak pernah berkurang. Hikayat tentang surga yang kujumpai demikian nyata di telapak kakimu, meski kutahu dalam sabda sang baginda namamu hanya disebutkan satu kali sementara ibu sampai tiga kali. Tapi aku tahu, baktiku padamu tak boleh ber

BAPAK

Darinya, akan selalu ada kisah yang menggetarkan dada meski tak pernah terlisankan begitu rapi dari lidahnya. Ada doa-doa yang menyelinap lalu lindap di dada dan membuat perjalanan-perjalananmu tetap saling mempertemukan hingga memudahkan. Ia hadir dan tumbuh menjadi sosok yang tegas namun halus dalam memperlakukanmu. Sosok yang darinyalah alir keringat menderas menjadi daging kebermanfaatan juga kemaslahatan untuk perjalanan-perjalanan kita berikutnya. Sosok yang tidak akan pernah usai membabar cinta dan kasih sayangnya kepada kita meski dengan perlahan atau malu-malu ia ungkapkan perasaan-perasaan itu kepada kita. Sosok yang dengan tegar dan tabahnya melepas satu per satu anak-anaknya terlebih anak perempuannya ketika dengan tegaknya ia melepas sang anak untuk hidup menapakki satu per satu jalan tempuh yang baru bersama seorang asing yang kini karib ia sapa sebagai menantunya. Sosok yang alir keringatnya juga lelah dan penatnya menjadi sebab surga kian dekat dengan jalan panjangnya.

Perempuan dalam "Pendidik"an

"Berilah seorang perempuan muda sepatu yang tepat, maka ia akan menaklukkan dunia" Peran 'keperempuan'an memang tak lepas dari urusan pembaharu, utamanya soal pendidikan. Pendidikan yang selama ini bertendensi dengan nuansa akal semata, telah mengeringkan bahkan menggiring konteks pendidikan yang kehilangan rasa dan nurani. Ilmu pengetahuan terpenjara dalam hitungan angka semata, yang selama ini menjadi indikator untuk mendefinisikan tentang kecerdasan bahkan kebenaran sekalipun. Disinilah letak harapan akan hadirnya perempuan dalam pendidikan, sehingga dapat menghadirkan wajah pendidikan yang baru. Mengaktualkan rasa sebagai sarana untuk menyeimbangi aktualitas akal dalam pendidikan. Membimbing dengan kelembutan, mendidik dengan kasih sebagaimana kodrat yang melekat pada perempuan. Sehingga wajah pendidikan seyogyanya memiliki wajah yang bersahabat, bukan wajah yang justru menakutkan bagi kalangan pelajar. Hadirnya sosok perempuan dalam pendidikan justru membalikk

Sosio-Historisitas Demokrasi Pancasila

Dalam urutan sila-sila Pancasila sila ke-4 perihal demokrasi didahului sila ke-2 dan sila ke-3 dan dipuncaki sila ke-5. Artinya, sebelum lebih jauh menggali demokrasi, bangsa Indonesia diisyaratkan agar terlebih dahulu berangkat dari sikap perikemanusiaan (sila ke-2) dan kebangsaan Indonesia (sila ke-3). Setelahnya, demokrasi wajib menuju pada keberesan ekonomi (sila ke-5). Pada 1 Juni 1945, sila ke-2 dan sila ke-3 dilafalkan dalam satu helaan nafas, yakni Sosio-Nasionalisme. kebangsaan Indonesia dan internasionalisme dalam hal ini, hidup dan saling menghidupi. Supaya, internasionalisme Indonesia tak menuju internasionalisme yang menolak eksistensi negara-bangsa. Sebaliknya, kebangsaan Indonesia yang hidup dalam internasionalisme Indonesia mencegah ultra nasionalisme, ultra patriotisme, dan sekaligus xenofobia. Bung Karno dalam kaidah yang sama pernah berujar, keberesan politik haruslah menuju pada keberesan ekonomi. Hal ini ia rumuskan menjadi Sosio-Demokrasi. Maknanya, sila ke-4 da

Bagaimana caranya menjadi perempuan?

Menjadi perempuan, kamu harus bisa bersih-bersih rumah, masak, urus anak. Menjadi perempuan, kamu harus bisa dandan, harus bisa menjaga kecantikan diri. Menjadi perempuan kamu harus jago melayani laki-laki (baca : Suami). Menjadi perempuan kamu harus lemah lembut. Katanya. Saya menyebutkan “katanya” karena sebagai seorang laki-laki, saya tidak tahu persis bagaimana rasanya menjadi perempuan. Saya hanya bisa berempati. Sepertinya cukup saya menuliskan daftar menjadi perempuan sampai di sini saja. Saya menuliskan daftar ini dari apa yang biasanya saya dengar sehari-hari, entah dari keluarga, teman, atau media. Entah dari perempuan itu sendiri atau laki-laki. Sepertinya banyak yang menaruh perhatian pada perihal menjadi perempuan. Namun, saya ingin melihat lebih kritis, menyadari bahwa perkataan tentang menjadi perempuan pada kenyataannya tak selalu berdampak positif bagi para perempuan. Tak sedikit perempuan frustrasi karena nasihat-nasihat (asumtif yang menjadi sugesti sekaligus tuntu

Mengenal Lebih Dekat FEMINISME

Gambar
[My Body is My Right?] Tau ga sih apa itu feminisme? Belakangan ini, ideologi feminisme yang dituangkan ke dalam paham kesetaraan gender (gender equality) telah menjadi tren baru masyarakat modern loh! 😱 Mungkin kalian sering mendengar slogan "My Body is My Right" disebarkan dimana-mana termasuk saat Women's March beberapa waktu lalu. Gerakan perempuan telah mendapat “restu” dari Perserikatan Bangsa Bangsa dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Negara dan lembaga serta organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan ini bahkan ideologi feminisme menjadi tolak ukur maju tidaknya pembangunan di sebuah negara, yaitu dengan menggunakan ukuran HDI (Human Development Indeks), GDI (Gender-related Development Index), GEM (Gender Empowerment Measurament), dll. Di Indonesia sendiri, Pemerintah telah mengesahkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam R

Istri

Pada Februari yang merah marun ini, izinkan aku kembali menghimpun beribu kabar. Memukimkan cinta di dada semesta, merapalkan doa-doa, menumbuhkan semesta harap tentang istri-istri perkasa yang berdiri tegak di belakang punggung lelaki yang didampinginya. Tentang tulang rusuk yang kelak akan mengutuhkan setiap jalan jihad para tulang punggung. Tentang kekuatan cinta sepenuh semesta yang dititipkan dalam pundak rapuhnya. Ini tentang mereka yang memilih jalan paling sunyi untuk mengabarkan pada dunia bahwa cinta bukan hanya sekedar kata biasa, namun ia juga kata kerja yang perlu pembuktian hingga berkarib-karib masa mendekatkannya dengan bahagia. Ya, ini tentang Raden Ayu Soeharsikin, perempuan sederhana yang memilih jalan panjang untuk kemudian menemani dakwah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam memperjuangkan Islam di tengah buih dan gelora perlawanan. Tentang sujud dan tahajud yang selalu ia labuhkan manakala Pak Tjokro kesayangan terus berjalan menempuh perjalanan paling jauh demi

Maaf

Mungkin, kita baru mulai mengalamatkan sejumlah kata sederhana di sini. Ketika salah memuncak di setiap fragmen perjalanan. Kita yang tak pernah bersih dari noda. Kita yang masih hitam meski putih adalah tanda sederhana yang mewarnai sepanjang riwayat perjalanan kita dari kelahiran sampai kita mengenal arti dari dewasa. Tentu, pada babak berikutnya kita akan saling membersihkan diri, mencoba untuk mencuci segala hitam dalam diri agar menjadi putih kembali. Mungkin, kita masih bisa mengalimatkan rasa-rasa sederhana ini di sana. Mempertahankannya dalam setiap keadaan sulit ketika tanda dan isyarat tentang kemustahilan berpendar begitu nyata di ujung namamu. Aku hanya ingin kita saling mengingatkan bukan saling berperang kata. Karena, damai yang sesungguhnya bukan soal siapa yang mampu memberikan solusi terbaik, namun selalu berujar tentang kebaikan-kebaikan sederhana yang selalu sampai ke ujung hati siapapun di sini. Mungkin, kita masih bisa merapalkan doa-doa sederhana itu untuk merek

Kesempatan

Aku selalu percaya dengan segala jalan sederhana di ujung namamu itu. Melepas sebagian romansa tentang segala cinta yang bekerja sederhana di ujung hati kecilmu. Mencoba untuk tetap bertahan sembari merapalkan doa-doa sederhana tentang kapal-kapal tegak yang pulang menuju dermaga tempatmu biasa menunggu kabar tentang lelaki teguh yang mencintaimu. Aku percaya, ia pasti akan pulang seperti pulangnya ombak pada pantai yang setia menunggunya di setiap waktu. Aku selalu percaya bila matahari akan datang menepati janjinya. Membiarkan segala susunan ingatan tentang aku, kamu dan sejumlah bilangan ganjil di depan sana kembali meruap dalam satu per satu jendela kenangan tentang pahit yang menerjemahkan rindu untuk berpulang pada hatimu. Di sini, cinta telah menentukan cara kerjanya untuk kita. Saling melepaskan dan merelakan segala perihal yang terjadi di ujung hidupmu sembari melepas apapun yang sesungguhnya bukan milik kita. Aku selalu percaya dengan takdir yang tak pernah bisa dipesan dan

Surat Jatuh Cinta

Akal telah menemukan jejaknya pada detak yang kemudian. Meminjamkan amsal sederhana dalam doa-doa yang mengabulkan segala kekalahan. Menjemput menang untuk bahagia di kemudian hari. Lantas luka telah bersiap-siap memenuhi pentas dan merayakan hari membanggakannya. Jujur, aku sedang tidak mengigau. Membiarkan harap menarasikan dirinya sendiri. Memutar kemenangan yang kini senyap di dada. Atau ada yang kembali merahasiakan tanda, mengeja bahagia dalam surat-surat panjang yang mengutuhkan kita di sebaris kita. Ah, aku akan datang menjemput bahagia yang tak lagi menang. Membiarkan kalah bersorak dalam dada, mengabarkan cinta yang utuh diriwayatkan pada setiap tanda dimana kemenangan-kemenangan adalah kalimat paling lepas dan tepat untuk menyatakan apapun yang biasa kita sebut sebagai duka.

Pada Kita Aku Kalah

Semesta telah datang memberimu kesempatan untuk melayarkan doa-doa haru menuju perjalanan paling detak. Menjemput menit yang tak kunjung usai merapalkan alpa serta khilaf. Aku datang membawa ceruk duka yang haru. Berjalan meninggalkan lampu-lampu kota yang benderang. Lalu sejenak mengistirahatkan raga yang katamu letih selepas tualang panjang menyisakan jejak sepatu di tanah. Kau mungkin tengah berbahagia, menikmati rindu pada sulur-sulur waktu yang dihimpun dalam setiap kenangan kita. Merapal senarai kisah hingga berlembar-lembar hikayat cinta, yang tetap pulang mengantarkan dirimu dalam doa. Ah, aku merasa kalah dengan setiap kalimat yang ada. Pecah dan kembali menjadi asing semenjak luka di dada menjadi demikian entah untuk disebutkan. *judul puisi ini diambil dari puisi karya Ivanasha Adani Prasetianti

Aku, Kau dan Hujan

Aku hanya ingatan yang pernah dititipkan tabah di sepanjang jarak perjalanan. Menemukan masa-masa terbaik dimana ruang adalah perjalanan tentang sekotak cinta yang begitu hampa kita terangkan. Merumuskan perihal-perihal tiada dimana janji dan ingatan hanyalah pertanyaan asing dan bodoh yang tak sanggup kita luapkan pada labirin semesta. Lalu aku pulang menarasikan rindu yang tiba-tiba tenang bersamamu. Rindu pada sepilihan tanya dimana hidup adalah tanda yang takkan pernah usai kita genapkan sebelum pelajaran-pelajaran berikutnya kita tuntaskan. Ada yang berjalan meninggalkan tua pada masing-masing ingatan. Seperti beranda dan halaman depan rumah yang tiba-tiba basah diguyur hujan kesukaan kita. Lalu kau dan aku saling membayangkan rupa rindu itu. Menjelaskan pada musim-musim peringatan dimana aku pernah menghafal sebait ijab qabul yang dulu sering kita rapalkan bersama dalam doa-doa panjang, yang melepas kita menuju kapal pertama di ujung sana. Percayalah, aku dan kamu hanyalah kalima

Pemuda

Inilah isyaratku tentang generasi pilihan itu. Generasi yang kabarnya mampu mengubah peta sejarah dan peradaban ini. Generasi yang kabarnya mampu membuat sebuah jalan pencerahan serta solusi sederhana atas kehidupan yang semakin aneh ini. Generasi yang kabarnya mampu membuat dan mencatat sejarahnya sendiri dengan kekuatannya sendiri. Generasi yang kabarnya mampu membuat dan memberikan yang terbaik pada dunia yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya selama ini. Namun, itu dulu kawan. Kabarnya, para generasi pilihan itu telah memilih menjadi lain di seberang sejarah. Memilih menjadi sekumpulan manusia yang acuh tak acuh akan nasib peradaban dan dunia yang semakin morat marit ini. Tak ada lagi jejak kepahlawanan nan heroik yang diciptakan para pemuda di penjuru dunia ketika ego menguasai dan rasa peduli menjadi lebih miskin dari rasa masing-masing yang ingin saling menguasai. Ah, kemana anak-anak muda harapan itu. Kemana para pembawa kemenangan itu. Kemana para pembawa suluh yang k

Inggit

Adalah rindu yang meruapkan namamu dalam bahagia. Mencipta semesta diantara cinta yang kelak bertukar peran. Menjadi ibu dari sisi-sisi bahagia yang tak dimenangkan. Lalu menjadi istri ketika tulang punggung mulai retak dan kehilangan arah. Atau menjadi kekasih ketika cinta menunjukkan kata kerja terindahnya. Menasabkan bahagia dalam gelora mimpi tentang merdeka. Atau kuncup bunga yang layu sebelum berkembang. Tentang gerbang istana yang menjadikan kisah kita lain pada paruh kedua sebuah masa kemerdekaan. Tentang kata-kata yang bertumbuh menjadi semacam doa yang tak tuntas dirapalkan ketika sang pujaan berpulang mendahului takdir yang digenapkan-Nya. Dan ini tentang rahim yang tak pernah menanam janin. Tentang tubuh yag tak pernah ditakdirkan menjadi ibu. Tentang hidup yang memberi warna-warni pilihan untuk kemudian berdiri tegak di sudut negeri. Pada kesunyian paling sunyi. Pada kemegahan dan warna-warni bendera yang biasa berkibar dengan gagah bilamana tujuh belas Agustus menanjak di

Celoteh Untuk Orang-Orang Berhidung Panjang

Tuan, inilah hikayat panjang tentang negeri subur itu. Negeri tempat keberkahan dan kenikmatan terus dialirkan tanpa mengenal jeda. Negeri yang pada suatu masa pernah diterangkan dalam berkali sebab dimana keberkahan dan kenikmatan saling bertalian menguatkan banyak kemenangan. Ya, di negeri ini pada satu kali masa kita pernah merasakan apa yang tak dirasakan orang-orang. Negeri yang dulu begitu karib dirapalkan orang sebagai tempat melabuhkan harap. Negeri yang di jalanan atau juga di tempat-tempat riuh lainnya tidak ada kata caci maki apalagi berkali hujatan. Negeri yang aman serta damai bahkan jauh dari kesan sebagai sebuah negeri yang tak layak huni bagi siapapun. Di negeri ini, semua bisa didapatkan dengan mudah dan nyaman. Negeri tempat orang berbahagia. Negeri yang menjadi surga bagi mereka para petualang. Negeri yang memberikan limpahan kesuburan tanpa jeda pada tiap-tiap permulaan atas doa-doa yang tak pernah putus dirapalkan. Tuan, itu dulu ketika semuanya belum berubah. Ket

[ENERGI LUKA]

Kepada Aus dan Khazraj kita belajar bahwa luka bisa menjadi karat. Menjelma racun yang mengubah kebaikan menjadi keburukan. Seperti halnya Abdullah bin Ubay yang demikian benci kepada baginda Nabi, sebab sang baginda merebut tempatnya untuk menjadi seorang raja. Tumpah ruahlah kebencian dari dalam dadanya. Ia mundur ke belakang berbaris diantara segolongan kaum munafik yang ikut serta dalam perang Uhud. Lelaki itu puas, menyaksikan kaum muslimin kalah perang dari Quraisy. Dan itu terjadi sebab luka di dadanya. Kepada Buya Hamka kita belajar bahwa luka bisa menjadi karya. Menjelma Tafsir Al-Azhar yang melegenda. Meski ia pernah kalah dalam silang sengketa bersama A. Hassan guru sahabatnya Mohammad Natsir. Namun, Hamka tidak pernah menganggap bahwa luka dari kekalahan itu sebagai sesuatu yang mesti dibalas dengan keburukan pula. Ia justru tampil dengan caranya sendiri. Membasuh dan mengobati luka itu dengan belajar tiada henti agar kelak ia mampu menjadi sosok yang bercahaya seperti gur

[RASULULLAH MUHAMMAD]

Teringat hikayat kekalahan itu. Ketika kemenangan berubah menjadi petaka. Ketika ruah harta berubah menjadi nyeri tak berperi. Aku ingat bagaimana wajah sendu itu menatap Hamzah sang paman yang pulang dengan sejumlah nyeri dan ngilu. Membayangkan sendiri bagaimana umat bergemuruh tak menentu ketika dirinya dikabarkan terbunuh di medan laga. Membayangkan betapa sakitnya anak panah, ranjau jebakan, luka di pelipis dan beberapa giginya ikut rontok. Namun, ia merasa itu tidaklah seberapa tinimbang ketika pilihan untuk memusnahkan suatu kaum ada di genggamannya. Ketika banjir besar yang menimpa kaum Nuh, ketika laut Merah terbelah dan menenggelamkan Fir’aun atau ketika kedahsyatan-kedahsyatan lain menimpa banyak kaum durhaka di masa silam. Ia tetap tak bergeming. Yang lahir dari ucapannya yang terpuji justru pengharapan tiada batas. Pengharapan ketika masih ada nyala yang bisa menerangi Thaif satu hari nanti. Ya, ketika dia berujar kepada Jibril untuk tidak menghantamkan Abu Qubais dan pas

HAMKA

Lelaki itu bernama Hamka. Ia hidup paripurna dengan beragam uji coba serta pencapaian-pencapaian yang tak mungkin bisa kita capai. Ia besar dan menetap di Muhammadiyah sembari menggambar cita-citanya membumikan Islam sebagai rahmat bagi semesta melalui karya-karyanya yang menakjubkan. Ia pernah merasa lelah dan kalah. Ia pernah menangis tersedu-sedu ketika pelajaran bahasa Arabnya dinilai kurang layak oleh sebagian kalangan bahkan sampai dibahas panjang dalam sebuah majalah. Namun, Hamka menolak kalah dan menyerah. Ia terus belajar dan belajar sembari memperbaiki apa yang salah darinya di kemudian hari. Ia tetap gemilang meski banyak orang yang meragukannya. Ia tetap ada menjelma cahaya dengan jalannya sendiri. Ya, ketika tiran memenjarakannya. Ia tetap sabar dan tabah menjalani semuaya. Sebab, dari dalam jeruji besi, ia merenung panjang. Dan hasilnya, ia lahirkan 23 juz tafsir Al-Qur’an yang kemudian kita kenal sebagai Tafsir Al-Azhar, salah satu kitab tafsir kontemporer yang hari ini

Soal Keberagaman, Kemanusiaan, dan Kita

Hari itu, linimasa saya mendadak riuh dengan obrolan-obrolan tanpa ujung. Mulai dari obrolan tentang Afi Nihaya Faradisa, bu Saeni, sampai obrolan tentang guru kami, ust. Tiar Anwar Bachtiar. Obrolan yang juga dilengkapi dengan kabar-kabar menggembirakan lainnya semisal seorang anak SD genius dari bumi Serambi Mekkah yang membuat kita lagi-lagi ‘ditampar’ olehnya, sebab di tengah keterbatasan dirinya, ia mampu berbuat sesuatu demi mewujudkan prinsip dan nilai Pancasila yang teranggit dalam sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab. Lalu, dengan sekonyong-konyong linimasa pun sibuk membandingkan anak tersebut dengan anak lain yang namanya tetap riuh diperbincangkan sebab ia terpanggil untuk diundang ke Istana Negara berjumpa dengan orang nomor satu di negeri ini yang hendak memberi apresiasi atas tulisan-tulisan ‘meneduh’kan dirinya yang dianggap menjadi jawaban atas setiap soalan bangsa yang tak kunjung mendapatkan solusi terbaiknya ketika keberagaman demi keberagaman ini justru men

Menimbang Sastra Dalam Kultur Dakwah Persis

Kita jangan lupa mereka yang memperbincangkan pelbagai masalah itu, yang satu ketika nampaknya mungkin seperti perkara kecil saja, tetapi pada hakekatnya mereka adalah pembongkar pokok asal kesesatan-kesesatan yang membawa kita jadi jauh dari rahmat dan inayah Allah SWT. Hubungan antara khurafat dan taqlid, adalah sama eratnya dengan hubungan antara hasil kebudayaan yang gilang gemilang dengan ruh intiqad. (Mohammad Natsir, Capita Selecta 1) Sastra adalah salah satu cabang kehidupan budaya bangsa. Melalui karya sastra dapat dibayangkan tingkat kemajuan gambaran tradisi yang sedang berlalu, tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh masyarakat pada suatu masa dan sebagainya (Pusat Pembinaan dan Pembangunan Bangsa Depdikbud, 1985). Sastra penting bagi kehidupan manusia, karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu memberikan pencerahan dan penghalusan batin. Selain itu sastra sanggup menumbuhkan daya kritis, analitis, maupun intelektual pembacanya, sehingga meningkatkan kemampu

Mengurai Makna Saur Mama anggitan KH. Utsman Sholehuddin

Panggung Sastra Religi di Nusantara Dalam bukunya yang berjudul ‘Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia’, Ajip Rosidi menyebutkan bahwa kemunculan sastrawan-sastrawati yang mengusung reformis Islam diawali dengan angkatan Balai Pustaka melalui karya-karya Hamka. Berlanjut pada masa Pujangga Baru dengan munculnya beberapa penyair yang mengusung tema-tema keagamaan seperti Sanusi Pane, Amrijn Pane, J.E. Tatengkeng hingga di masa 1945, 1953 sampai 1966 dengan Taufiq Ismail sebagai salah satu pioneer-nya. Sementara pada masa 1970-an sampai saat ini muncul sastrawan-sastrawan lain yang mengusung tema serupa baik dalam penulisan puisi, prosa maupun drama. Beberapa pengarang ini memiliki catatan-catatan khas dalam pusaran-pusaran ide religiusnya. Dimulai dari KH. Mustofa Bisri, D Zawawi Imron, sampai yang mutakhir Helvy Tiana Rosa dan Habiburrahman El-Shirazy. Keseluruhan karya sastrawan-sastrawati tersebut banyak mengungkapkan persoalan-persoalan keagamaan baik persoalan secara personal maupun