Wanita
Wanita adalah penentu masa depan suatu negeri. Karena wanita adalah sekolah pertama bagi setiap anak manusia
Ini adalah kisah sebuah perjalanan. Tentang perempuan-perempuan teguh dan tangguh yang dilupakan sejarah. Ini hanya semacam sebuah permenungan atas masa depan sebuah negeri yang konon berada dalam pundak para perempuannya. Dan ini adalah kisah tentang mereka. Mereka yang namanya tak diabadikan dalam sejarah. Namun kisah pengorbanan, pengabdian serta jejak bakti mereka adalah nyata hanya untuk negerinya sendiri.
Mereka ada dalam buku-buku kusam yang tak pernah tersentuh zaman. Mereka hadir dengan cara mereka sendiri. Mereka berjuang dengan kemampuan mereka sendiri. Yang mengubah segala kata keterbatasan dan ketidakmungkinan menjadi sepenggal irama perjalanan yang membuat nama mereka kian kukuh di ujung peradaban. Mereka adalah ibu bagi negeri yang tengah pancaroba. Negeri yang masih bingung mencari nahkoda terbaiknya untuk mengemudikan kapal besar bernama Indonesia.
Bagi Malahayati, mengabdi pada negeri adalah epik luar biasa yang tak boleh dipandang asal. Ia hadir membuka mata dunia dengan caranya sendiri. Menjadi laksamana terbaik yang dilahirkan dari tanah penuh berkah bernama Aceh. Berjuang dengan sekuat tenaga. Memimpin beribu-ribu armada lautnya agar tanah yang dicintainya tak pernah disentuh oleh tindak-tanduk penjajah yang licik dan culas dan hendak menguasai tanah kelahirannya. Dan Malahayati, berdiri teguh di sisinya. Melawan tiran kolonial yang sesungguhnya telah menjadi musuh abadi semenjak waktu berdetak mengisi zaman.
Bagi Kalinyamat, berjuang adalah mengorbankan apa yang dimiliki. Mengabdi untuk membebaskan negeri dari segala tindak-tanduk licik penguasa penjajah. Memberikan yang terbaik dengan mengusir para penjajah dari bumi Jawa tanpa ada kata ampun. Menarasikan sehimpun perjuangan akbar dalam syair-syair kehidupan yang termaktub di ujung ayat-Nya. Dan engkau adalah ratu. Ratu yang nyatanya manunggal dengan rakyat. Hingga dengan gagah berani engkau korbankan seluruh jiwa raga serta harta duniawi untuk menggelorakan perang dengan kaum kafirin Portugis.
Bagi Cut Nyak Dien, negeri ini adalah amanah dari-Nya yang harus dijaga sampai titik penghabisan. Tak boleh diganggu apalagi diusik kedaulatannya. Sebab sejahtera adalah mutlak bagi seluruh penduduk yang menjadi bagian darinya. Negeri ini adalah negeri yang sesungguhnya bukan milik ia namun milik-Nya. Karena itu, berjuang di jalan-Nya adalah simpul yang harus terus dikokohkan. Sebab, baginya tak ada kata tunduk pada segala bentuk tiran. Bahkan bekerjasama dengan penjajah adalah hal yang sumir untuk dilakukan. Sebab, tanah Aceh adalah milik rakyat Aceh bukan tanah yang harus dibagi rata apalagi dijadikan lahan bermesraan dengan penjajah. Dan darinyalah, kita bisa menyaksikan epik mengagumkan. Sebuah epik yang berkisah tentang Perang Aceh, perang yang telah mengabadikan banyak perempuan sebagai persembahan terbaik atas tanah dan perlawanan yang tak pernah mengenal usai.
Bagi Siti Aisyah We Tenriolle, mengabdi memiliki arti menjaga dan mendidik. Mengabdi adalah cara paling tepat untuk mengabadikan kursi singgasana yang didudukkinya hampir 55 tahun lamanya. Menjadi seorang ratu bukan berarti hidup dalam berkelimpahan materi dan kemilau dunia. Karena menjadi seorang ratu adalah sebuah jalan untuk terus mengabdikan hidup dan mengembalikannya kepada Sang Pengatur Kehidupan dengan cara-cara yang bermanfaat dan maslahat untuk semua. Mengabdi adalah menyatu dan manunggal dengan rakyat yang dicintai. Mengabdi bukanlah mencipta jarak teramat jauh dengan rakyat. Karena mengabdi adalah melayani bukan dilayani.
Bagi Sultanah Safiatuddin, mengabdi adalah belajar dan memberi manfaat. Mengeja sehimpun tanda dimana singgasana adalah amanah yang dititpkan rakyat. Bukan sarana untuk berleha-leha apalagi lupa pada rakyat yang memberikan semacam doa untuknya. Karena baginya, menjadi ratu adalah awal dari sebuah lembar perjuangan. Mengabadikan sejarah lewat langkah-langkah nyata memakmurkan tanah, memperkuat aqidah rakyat dan mengajak rakyat untuk sama-sama berjuang mewujudkan apa yang selama ini hadir dalam kepal impian. Mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dan tak lupa mengeja ilmu demi kemaslahatan bersama.
Bagi Nyi Ageng Serang, berjuang adalah melawan sekuat tenaga. Mengabadikan jalan jihad sebagai tuntunan atas kewajiban membela dan membebaskan tanah kelahiran dari cengkraman tiran penjajah yang tak pernah kenal kasihan. Baginya, memerdekakan negeri adalah tujuan mulia untuk sebuah perjuangan panjang. Meski lahir sebagai perempuan terhormat dari kalangan terhormat. Tak ada celah baginya untuk mundur dari medan perjuangan. Karena berjuang baginya adalah tanda untuk terus mengabadikan hidup dalam perjalanan-perjalanan panjang di ujung usia.
Bagi Tengku Fakinah, menjadi seorang panglima sekaligus ulama adalah tanggung jawab yang mutlak harus diselesaikan. Diselesaikan dengan kegagahan dan keberanian tanpa lupa siapa dirinya dan asal muasalnya. Seseorang yang lembut luar biasa namun tegas terhadap kekejian dan serangan kaum kafirin Belanda yang hendak menguasai tanah kelahirannya Aceh. Baginya, berjuang tak hanya soal mempertontonkan kegagahan di medan laga. Namun, berjuang adalah mendidik para perempuan agar pada masanya nanti mereka bisa menjadi mujahidah tak hanya di medan laga namun juga di rumahnya sendiri.
Catatan Rindu
Komentar
Posting Komentar