Lelakumu Ayah

Aku tulis surat ini untuk menandai hening suaramu. Tegak pendirianmu juga jelas langkahmu. Saling merengkuh lalu kita pernah terdiam sembari sesekali membayangkan betapa pendeknya jarak antara hidup dengan apa yang kita perjuangkan. Sembunyi-sembunyi lalu sesekali kita tertawa mengenang tiap kisah itu. Membandingkan banyak lelaku yang tercerabut dari kisah panjang kita kemarin petang. Dan di sini, pada setiap bilah pengembaraan. Aku masih mengenang hikayat terbaikmu. Hikayat yang tak pernah berkhianat ketika jalan juga cara kerjamu tetap menyambung alasan-alasan terbaik untuk pulang menuju tempat paling indah di palung hatimu ketika sabar menjadi doa tanpa jeda. Ayah, aku bahagia bisa menyaksikan semua hikayat panjang itu. Hikayat tentang cinta yang tak pernah berkurang. Hikayat tentang surga yang kujumpai demikian nyata di telapak kakimu, meski kutahu dalam sabda sang baginda namamu hanya disebutkan satu kali sementara ibu sampai tiga kali. Tapi aku tahu, baktiku padamu tak boleh berkurang sebab jalan menuju surga juga ada padamu. Pada lelah harimu, pada peluh keringatmu juga panjang pengorbananmu. Lelah yang tak pernah bisa kutebus juga kubalas meski samudera tak pernah lelah menjadi tinta untuk menuliskan namamu. Lelah yang kelak akan menjadi saksi bahwa setiap perjuanganmu tetap berpeluk mesra dengan ridha-Nya. Ayah, aku tahu jalan panjang itu saling sambung menyambung. Mengekalkan derap langkahmu yang seringkali ingin segera kuburu. Ingin kucium keriput tanganmu yang darinyalah mengalir deras cinta juga kasih tanpa jeda. Yang darinyalah asas-asas kerja keras, pengorbanan juga ikhtiar tanpa jeda bisa dipahamkan pada kami anak-anakmu. Alir air mata yang tiba-tiba mengendap ketika akhirnya setiap daya ikhtiar itu berjumpa manis di ujung jalan. Tentu, aku seringkali bingung mengeja semuanya. Sebab, seperti katamu jadilah anak-anak, jangan jadi orang dewasa. Ayah, bila perjalanan diumpamakan sependek adzan dan iqamat. Izinkan aku pulang untuk memburu setiap peluk hangatmu juga kasih dan cintamu yang tak pernah berjeda. Meski pernah sekali waktu aku hendak mengkhianati setiap jalan kebaikan yang kau retas. Ayah, tahukah engkau betapa aku cemburu pada jalan panjang perjuanganmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup