Laki-Laki Yang Mencintai Phinisi

Barangkali, ini bisa kukabarkan sebagai jelma tentang hikayat lelaki perkasa itu. Hikayat sederhana yang pernah menulis namanya pada lembaran biru tentang laut dan ombak yang menjelma asin tepat di kedua mata ini. Menjelma menjadi uraian cerita tak berkesudahan ketika lepas waktuku kembali pada ranum wajah itu. Mengingat biru laut dan Phinisi yang terus berlayar mengarungi samudera lepas untuk sesekali menengok sanak saudara di kejauhan sana.

Barangkali, ini bisa kukabarkan sebagai doa yang tak pernah selesai kurapalkan. Semenjak dingin dan gigil pulang menuju rumah kecil kita. Menautkan sebagian rindu yang tua di perjalanan-perjalanan kita ini, menautkan segalanya hingga kita akan kembali pulang dan mengulang semuanya pada semesta riwayat di ujung kisah tak berkesudahan ini. Aku tahu, cintamu pada Phinisi telah kau tenun semenjak rahim tegak perempuan Bugis itu mengandung dirimu di sembilan episode terbaikmu.

Kita akan melepaskan semuanya, membiarkan muara dari puisi kita adalah laut yang menepikan rasanya di ujung ombak kesetiaannya. Kita akan saling membaca, mengeja huruf-huruf lupa di sepanjang jejak kita sendiri. Menukar segalanya pada peristiwa-peristiwa paling asin semenjak lupa setia menjadi kawan karib kita di ingatan. Di sini, kita akan melarung semua harap itu, membiarkan cinta bekerja dengan jalan kepulangannya sendiri. Kita akan saling menetapkan, merangkai sejumlah beda atau kita akan menafsir dan menerjemah semua sama di masing-masing kepal ingatan kita. Entah itu tentang sesuatu yang lebih madu dari apa yang pernah kita tafsir bersama, atau kita akan saling melepas duka, membiarkan riwayat-riwayat ini menjelma sunyi tak berkesudahan. Di sini, kita akan mulai mengembarakan ingatan kita masing-masing. Di ingatan kita ada sejumlah kata tentang masing-masing rasa yang berjalan sendiri-sendiri, lalu menukar masing-masing perjalanan itu pada sisa paling pagi di ujung doa yang biasa kita rapalkan sendiri.

Kadang, kita tak pernah tahu bagaimana mengukur cinta tulusmu pada perahu kokoh bernama Phinisi, atau mengukur banggamu pada kehalusan tenun Sengkang, atau membaca rindumu untuk mengulang segala kedigjayaan I La Galigo yang katamu lebih masyhur di tanah orang lain ketimbang tanah lahirmu sendiri. Kita hanya akan saling menatap, membaca dan membiarkan semuanya mengalir seperti biasa. Berjalan pada penggalan-penggalan musim tentang pagi paling pagi yang biasa dijadikan alasan untuk tetap merapal doa bagi seorang perempuan renta yang tubuhnya semakin manis seperti madu. Seorang renta yang darinyalah telah lahir seorang lelaki perkasa penerus segala kedigjayaan tanah leluhurnya, Bugis.

Mungkin, kau tahu bahwa perempuan itu pernah bermimpi suatu hari engkau bisa seperti Hasanuddin yang namanya dan sederet kebaikannya tersumbul kuat di bandara terkokoh di provinsimu. Atau ia pernah memimpikanmu bisa menjadi seorang Jusuf Kalla yang darinyalah lahir sejumlah resolusi sederhana untuk negeri, meski terkadang engkau sering mengkritiknya lewat orasi beberapa kawanmu di kampus, atau lewat puisi-puisi halusmu sembari meriwayatkan beberapa kepal cerita tentang kita dan sejumlah impian sederhananya disini. Menanaknya pada sebagian padi manis dari tanah leluhurmu, lalu kau kembali mengembarakan semuanya pada setiap cita rasa Coto Makassar atau Boroncong yang membawa namamu pulang menjadi kebesaran atas tanah leluhurmu yang tak pernah bosan melahirkan pahlawan-pahlawan perkasa pencinta Phinisi.

Kita mungkin hanya mampu menafsir secara sederhana. Tentang rasa cintamu yang selalu kokoh pada Phinisi dan segala kedigjayaannya. Tentang rasa banggamu pada  I La Galigo yang terus mengurai perasaan cinta tak berhingga pada bilangan-bilangan barisnya. Atau tentang rasa kagummu pada tenun Sengkang yang setia membalut setiap lekuk tubuhmu. Di sini, aku mencoba untuk bisa bangga sepertimu. Cinta pada biru laut Pangandaran, bangga pada Kidung Sunda yang mengisahkan tragedi memilukan di Palagan Bubat, atau kagum pada setiap kelembutan di batik Mega Mendung yang setia mengajarkan kepada semua bahwa kesabaran adalah mutlak adanya untuk kita lewati ketika hidup terus kita jalankan di sepanjang tapak usia kita.

Namun, di sini kita belajar banyak hal dari catatan sederhanamu. Kita selalu belajar cinta pada setiap lekuk budaya yang tak pernah lekang dimakan zaman. Kita akan terus menjadi saksi bahwa Phinisi yang pulang akan tetap melahirkan banyak cinta yang tak terurai, seperti cintamu pada kegagahan Phinisi, lewat puisi-puisi agungmu.

Percayalah, cintamu pada Phinisi takkan pernah sia-sia.





Catatan Rindu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup