[RASULULLAH MUHAMMAD]

Teringat hikayat kekalahan itu. Ketika kemenangan berubah menjadi petaka. Ketika ruah harta berubah menjadi nyeri tak berperi. Aku ingat bagaimana wajah sendu itu menatap Hamzah sang paman yang pulang dengan sejumlah nyeri dan ngilu. Membayangkan sendiri bagaimana umat bergemuruh tak menentu ketika dirinya dikabarkan terbunuh di medan laga. Membayangkan betapa sakitnya anak panah, ranjau jebakan, luka di pelipis dan beberapa giginya ikut rontok. Namun, ia merasa itu tidaklah seberapa tinimbang ketika pilihan untuk memusnahkan suatu kaum ada di genggamannya.

Ketika banjir besar yang menimpa kaum Nuh, ketika laut Merah terbelah dan menenggelamkan Fir’aun atau ketika kedahsyatan-kedahsyatan lain menimpa banyak kaum durhaka di masa silam. Ia tetap tak bergeming. Yang lahir dari ucapannya yang terpuji justru pengharapan tiada batas. Pengharapan ketika masih ada nyala yang bisa menerangi Thaif satu hari nanti. Ya, ketika dia berujar kepada Jibril untuk tidak menghantamkan Abu Qubais dan pasangannya atas kesombongan dan kekerasan hati penduduk Thaif kala itu. Sebab harapnya, nanti dari tulang sulbi mereka akan lahir generasi-generasi yang berjuang tanpa lelah untuk kemuliaan Islam. Dan benar saja, dua belas tahun jarak dari doa itu dirapalkan.

Lahirlah satu generasi dari Thaif yang benar-benar gigih memperjuangkan Islam. Itu baru satu. Masih ada banyak kisah tentangnya. Tentang sosok yang terpuji dan teruji. Tentang sosok yang pernah merasa kalah, namun ia tetap bercahaya. Dan ini tentangnya yang dulu pernah menangis sedih ketika harus berpisah dengan umat. Ketika Izrail datang untuk menjalankan tugas, memutus ruh dari segala kesenangan dunia, lalu Jibril hadir memberikan kabar gembira tentang pintu-pintu langit dan surga yang terbuka lebar untuknya. Hatinya tetap gelisah. Ia masih memikirkan kita yang mengaku-ngaku umatnya.

Bagaimana nasib kita kelak di hadapan-Nya? Itu yang dipikirkannya. Dan benar saja, Jibril langsung memberi kabar bahwa siapa saja yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah, ia akan selamat dan berjumpa dengan-Nya di surga kelak. Ya, lelaki itu tetap tersenyum bahagia meski resah di hatinya tak kunjung usai. Hingga sampailah pada satu kalimat sederhana yang barangkali akan membuat kita cemburu dan juga rindu. Ummati, ummati, ummati, desahnya di ujung nafas terakhir.

Ah, pada kalimat akhir itu tidakkah kita cemburu untuk menjadi bagian darinya ?. Dan nama lelaki itu, lelaki yang pernah terluka ketika Abdullah bin Ubay menyebutnya musibah tetap bercahaya. Ia, Muhammad, lelaki terpuji dan teruji. Kekasih yang dicinta dan mencinta. Pelayan terbaik di telaga Kautsar kelak ketika wajah-wajah perindunya datang satu per satu menikmati air telaga dan dilayani langsung oleh sang kekasih yang pernah membuat Umar putera Khattab bersedih saat menyaksikan alas tidur sang baginda hanya pelepah kurma yang membuat punggungnya merah-merah. Juga seseorang yang pernah membuat Abu Bakar tidak berdaya ketika menyuapi seorang pengemis Yahudi. Sebab cinta kasihnya tak sebatas ujar, tapi juga perbuatan.

Adakah jalan untuk kita menjadi yang dirindukannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup