Celoteh Untuk Orang-Orang Berhidung Panjang

Tuan, inilah hikayat panjang tentang negeri subur itu. Negeri tempat keberkahan dan kenikmatan terus dialirkan tanpa mengenal jeda. Negeri yang pada suatu masa pernah diterangkan dalam berkali sebab dimana keberkahan dan kenikmatan saling bertalian menguatkan banyak kemenangan. Ya, di negeri ini pada satu kali masa kita pernah merasakan apa yang tak dirasakan orang-orang. Negeri yang dulu begitu karib dirapalkan orang sebagai tempat melabuhkan harap. Negeri yang di jalanan atau juga di tempat-tempat riuh lainnya tidak ada kata caci maki apalagi berkali hujatan. Negeri yang aman serta damai bahkan jauh dari kesan sebagai sebuah negeri yang tak layak huni bagi siapapun. Di negeri ini, semua bisa didapatkan dengan mudah dan nyaman. Negeri tempat orang berbahagia. Negeri yang menjadi surga bagi mereka para petualang. Negeri yang memberikan limpahan kesuburan tanpa jeda pada tiap-tiap permulaan atas doa-doa yang tak pernah putus dirapalkan.

Tuan, itu dulu ketika semuanya belum berubah. Ketika orang-orang licik nan culas belum singgah di tanah ini. Tapi, semenjak mereka menginjakkan kakinya di sini. Semenjak mereka menjajah, menjarah dan menyiksa penduduk negeri semua berubah. Dan tuan pasti tahu apa yang terjadi di kemudian hari ketika orang-orang dengan tubuh tinggi besar, hidung mancung, kulit putih dan berambut pirang bolak-balik menjadi tuan di tanah orang lain. Memerintah seenak hati, lantas meminta para penghuni negeri untuk memanggil mereka dengan nama kehormatan sebagai meener. Dan semenjak saat itu, bahagia negeri ini pun dirampas. Kita menjadi budak dan juga rakyat yang tak tahu bagaimana menentukan hari depan negeri. Menjadi yang terjajah hingga berabad lamanya. Meski hari ini para pakar kembali berpendapat bahwa kita tidak pernah tuntas dijajah mereka sampai berabad lamanya. Ah tuan, itu tak jadi soal bagi kami. Namun, warisan hidung panjang itu yang kini menjadi dan menjangkiti kebanyakan penguasa yang hari-hari ini mendadak pelupa seperti mereka.

Tuan, mau dibawa kemana negeri ini. Negeri dimana orang baik dan orang jahat tidak dapat dibedakan. Negeri dimana halal dan haram sama saja. Negeri dimana kebohongan, kedengkian, juga beragam sifat lainnya tumbuh subur layaknya jamur di musim penghujan. Negeri yang memuja-muja beragam batu, lantas menafsirnya sebagai barang paling istimewa, sampai-sampai orang berhidung panjang di aneka jenjang takhtanya mulai mewajibkan para pelayannya memakai batu aneka warna itu. Duh, apa sebenarnya yang terjadi dan tengah menjangkiti negeri ini ? Penyakit apa yang membuat rakyat negeri ini begitu riuh memandang batu sementara lupa pada sampul demi sampul keterjajahan yang nyatanya ditiupkan dari beragam arah. Apa artinya kemerdekaan bilamana gunung emas di Papua sana masih dijarah dan dijajah orang bule. Apa artinya kebahagiaan bilamana blok minyak di Natuna dan Cepu masih dikuasai para tauke juga meneer berjas safari. Tolong, beri kami arti yang sesungguhnya tentang maksud ini semua. Karena kami tak ingin menjadi pelupa seperti tuan yang kini kukuh mendudukki kursi nomor satu di istana tempat aneka orang berkeluh kesah.

Tuan, di tengah lonjakan harga minyak, sembako, juga barang-barang lainnya yang tak menentu. Kami betul-betul merasa bingung dengan apa yang kau kehendakki. Ketika tarif tol, angkutan kota, tarif listrik, tarif kereta api, juga tarif-tarif lainnya membengkak di buku tagihan. Dada kami serasa sesak dibuatnya, gaji yang seberapa kini harus dihemat sehemat-hematnya apalagi semenjak pajak dan juga hal-hal lainnya membuat dada kami benar-benar terasa nyeri. Menafsir kesalahan-kesalahan yang buncah seperti denyar kembang api di malam tahun baru. Kami sungguh tak paham dan tak mengerti dengan maksud sejahtera yang justru berkebalikan dengan kenyataan yang mesti kita hadapi bersama. Sungguh, apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri ini, tuan ? Mengapa simpul dan sampul keterjajahan itu masih mengikat kami hingga beban utang di punggung terasa berat untuk kami lunasi bersama-sama semenjak Indonesia disidang di pengadilan semesta.

Tuan, beri kami arti atas semua cerita ini. Cerita tentang negeri yang penduduknya perlahan-lahan berhidung panjang. Tentang segala keganjilan dan juga perihal-perihal menyesakkan lainnya. Tentang cinta yang kini menjadi dangkal, tentang harga-harga yang tak mau turun, tentang doa yang tak pernah sampai pada pemilik-Nya. Juga tentang tanda-tanda sederhana yang membuat kami merasa tak yakin akan masa depannya di hari depan. Tolong beri kami terjemah atas semua ungkapan dan peribahasa asing yang bertebaran di muka negeri. Tentang orang-orang berjas safari yang hilir mudik di perusahaan-perusahaan milik negeri. Tentang asset demi asset yang berpindah tangan, sementara kesengsaraan demi kesengsaraan menjadi begitu nyata di depan mata kami sendiri.

Tuan, tolong beri kami arti atas semua keganjilan ini. Beri kami wujud nyata atas setiap tindak dan juga ucapmu. Dan, tolong beri kami satu cerita nyata tentang kutukan dari seberang yang membuat kita mendadak menjauh dari doa-doa berbunyi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ah tuan, ini bukan tentang mimpi Indonesia. Ini hanya sebuah kisah sederhana tentang orang-orang berhidung panjang yang kebetulan menumpang tinggal di sepotong surga bernama Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup