Peziarah Diri Sendiri
Mereka datang menuju rumahku. Membanjirinya dengan doa dan limpahan rindu yang biasa dirapalkan pada lelakiku nan agung. Mereka tak pernah rela melepas rindu dan cinta mereka pada lelaki gagah dan pemberani yang bertahun-tahun silam pernah mengujarkan ijab di hadapan sang penuntun hidupku. Ya, di hadapan ayahku ia berujar setia bahwa akan terus menemaniku, mengayuh bahtera rindu bernama rumah tangga hingga menepi di tepian sakinah, mawaddah dan warrahmah seperti harapan kebanyakan orang di luar sana. Dan dia dengan sikap tegasnya mengikrarkan janji abadinya, mengucapkan segala tumpahan cinta dan rindunya padaku dengan mahar cinta. Air mata menetes dari kedua mataku, membentuk tepian sungai yang bermuara di laut bibirku, dan di sini kita pernah dipertemukan takdir bertahun-tahun lalu sampai muara ijabah doa kita adalah sakinah, mawaddah, warrahmah seperti yang menjadi kepal impian siapapun juga.
Waktu telah mengantarmu kembali menjadi lelakiku sepenuhnya. Lelaki yang bisa kutasbihkan sebagai sang malaikat yang menemani segala tumpah rinduku, lelaki yang biasa mengecupku dengan aliran cinta tanpa henti, lelaki yang kehadirannya selalu dielu-elukan oleh siapa pun karena segala bayang cintanya terbentang di sekujur sikapnya. Ya, lelaki yang segala tutur katanya penuh dengan samudera hikmah tanpa tepi, lelaki yang segala tindak tanduknya seolah menjadi cermin bagi siapa pun untuk lebih dekat mengenal Pencipta-nya. Lelaki yang dari ujung rambut hingga ujung kakinya terus disorot berjuta-juta kamera, meski ia tak pernah meminta untuk disorot. Aku percaya, bahwa sampai detik ini aku masih mencintanya. Seperti pertama kali berjumpa, dan rasa ini takkan pernah berubah semenjak waktu mengguratkan takdir beda di hadapan kita.
Hingga, perjalanan panjang itu mengantar namamu pulang menuju-Nya. Di keheningan subuh ketika engkau berpacu dengan waktu untuk sampai di depan rumah, demi menegakkan separuh subuh-Nya bersamaku dan anak-anak. Waktu telah menggariskan lain jalan takdirmu. Ia memilihmu untuk berpulang pada suatu kabar tentang kecelakaan di ujung subuh hari itu. Ada yang hilang dari separuh waktuku mendengar kabar engkau berpulang dengan begitu mendadak. Isak tangis tak tertahankan, menjelma tebing sungai di kedua mataku, lalu bermuara pada laut di tepian bibirku sembari merapal sebagian doa tentang peziarah dan pelayat diri sendiri itu.
Mereka seperti tengah mabuk kelupaan. Mereka menangis, meratap dan menjelmakan sebagian rasanya seolah tak rela ditinggal pergi olehmu. Mereka kembali menenangkan aku, mencoba membuat aku bisa lebih bersabar. Namun, di sisi lain aku melihat mereka seperti tengah menangisi tubuh mereka sendiri. Menangisi perjalanan mereka yang tak siap ditinggal olehmu. Dan aku melihat semua itu dengan mataku yang nanar ini. Mencoba untuk bisa membuat mereka tetap tersenyum dan bisa ikhlas melepas kepergianmu. Karena, seperti katamu maut adalah kepergian yang tak mungkin bisa ditunda. Waktu kita di dunia fana ini terlalu pendek untuk dihadiahi tangisan. Perjalanan kita masih akan panjang, sementara mereka yang berjumlah ribuan itu, berjubel di rumah kita, berjubel di tanah kuburanmu adalah mereka yang sampai kapan pun akan terus menziarahi diri mereka sendiri meski dengan label tengah menziarahi tubuhmu dan segala kebaikanmu.
Ah, sudahlah. Biarkan mereka menenun mimpinya sendiri, merapalkan doa dan sejumlah pintanya lewat tubuhmu yang telah terpisah selama-lamanya. Mendambakan kehadiran sosok penggantimu yang bisa membuat mereka kembali berduka lara, menziarahi tubuh mereka sendiri yang kelelahan bilamana mereka tak mampu melihat wajah terakhirmu. Biarkanlah mereka merapalkan doa-doa itu hanya untuk membahagiakan hati mereka yang tak bisa rela dan ikhlas melepas kepergianmu. Biarkanlah semuanya seperti itu, berjalan seperti dalam susunan waktu. Toh, bila sudah saatnya nanti mereka akan kembali sadar, pulang dan meninggalkan semua kesunyianmu, menjadi diri mereka sendiri, lalu mencoba mencari pengganti hadirmu yang konon kata mereka ada diantara aku dan juga anak-anak kita.
Bilamana kepergianmu ditangisi beribu-ribu orang. Sesungguhnya, aku hanya menyaksikan mereka bukan tengah menangisi kepergianmu. Mereka tengah menangisi diri mereka sendiri yang tak siap ditinggal tokoh panutannya. Mereka yang di kepalanya telah berjejak seribu lembar ingatan tentangmu, mungkin pada harinya nanti mereka akan menjelma lupa dan meninggalkan namamu sendiri di lubang ingatan mereka. Karena bagi mereka, kepulanganmu telah menjadi ruang untuk terus mengenang, membiarkan semua kebaikanmu menjadi kembang paling indah di sepanjang riwayat perjalanan mereka. Membiarkan kenangan tentangmu terus hidup, hingga mereka bisa kapan pun menziarahinya tanpa ada yang bisa menghalanginya. Ya, mereka yang berziarah pada diri mereka sendiri, lalu merapalkan doa hanya untuk diri mereka sendiri.
Aku tidak sedang marah ketika menulis ini. Namun, aku hanya merasa ini ironis untuk perjalanan kita. Sebab, perjalanan panjang kita justru baru dimulai semenjak para peziarah diri sendiri itu ribut dan datang ke rumah kita, menyampaikan bela sungkawa tiada henti. Padahal, aku sudah ikhlas melepasmu pergi dengan segala kebaikanmu yang tersimpan rapi di ujung ingatan ini.
Ya, aku sudah ikhlas melepasmu pergi. Meski pada suatu waktu aku kembali merindu hadirmu di sisi
Catatan Rindu
Komentar
Posting Komentar