Sebaik-Baik Cinta Karena Allah

Adalah cintanya nabi Ibrahim Alaihissalam ketika diuji oleh Allah untuk mengorbankan nabi ismail

Adalah cintanya Sarah, ketika menyuruh suaminya; —Nabi Ibrahim Alaihissalam— menikahi Hajar

Adalah cintanya seorang wanita beriman, yang dimasukan kedalam api mendidih beserta seluruh keluarganya oleh Fir’aun yang keji

Adalah, cintanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus berhijrah dari Makkah ke Madinah,

Adalah cintanya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang menyedekahkan seluruh hartanya

Adalah cintanya Umar bin kaththab radhiyallahu ‘anhu yang menyinarkan keadilan saat memegang tampuk kekhalifahan

Adalah cintanya manusia-manusia sekarang, yang kehilangan keluarga, sahabat, kerabat semenjak pakaian taat melekat

Kalimat ini viral, dan saya kesusahan mencari sumber pertamanya;
“Bahwa cinta adalah pengorbanan. Seseorang yang jatuh cinta akan mengorbankan apa saja demi orang yang dicintainya.”

Maka inilah sebaik-baik bukti cinta karena Allah, sami’na wa atho’na

Betapa berat dan beratnya, ketika seorang ayah yang berpuluh tahun menanti kehadiran buah hati, ia harus berpisah. Meninggalkan istri dan anaknya di lembah yang gersang nan kering, tak berpenghuni, tak tercium sedikitpun aroma kehidupan. Saat barisan tahun memisah keduanya tanpa sua, turunlah perintah untuk menyembelih anaknya. Sampai bagian ini, masihkah kita meragukan kecintaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada Allah Ar Rahman?

Betapa pedih dan menyayatnya, ketika seorang perempuan yang menemani perjuangan suami dari titik terendah harus berbagi untuk perempuan selain dirinya. Karena tak kunjung diberi keturunan, karena harus ada penerus kenabian. Untuk Allah, Sarah tundukkan semua cinta kepada-Nya

“setiap orang menghabiskan pagi bersama keluarganya, sedangkan ajal lebih dekat dari terompahnya” adalah kalimat yang terucap dari lisan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika demam meninggi fase hijrah di Madinah. Cintanya kepada tanah kelahirannya, rindunya kepada tanah Makkah, tersusul oleh seruan Bilal Radhiyallahu ‘anhu,

“Duhai, andai bisa kunikmati indahnya malam di lembah berteman idhkar dan jalil disekitar.....”

Andai bisa kubawa air Majinnah suatu hari, andai muncul di depanku bukit Syannah dan Tufail.” Telah menggambarkan jelas berat dan sulitnya meninggalkan tempat dimana kita dilahirkan dan tumbuh besar. Namun karena kecintaan mereka kepada Rabb-nya, mereka laksanakan tanpa tawar menawar

Sungguh, mencintai karena Allah akan menemukan titik uji dan konsekuensi. Maka kokohlah. Maka buktikanlah. Seberat dan serumit apapun itu. Ujian kita, tidak pernah lebih berat dari ujiannya Para Nabi dan orang-orang shalih terdahulu :’)

"...Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali." (Qs. Al-Baqarah 285 bagian akhir)

Intuisi Aksara
Catatan Musafir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup