Soal Keberagaman, Kemanusiaan, dan Kita
Hari itu, linimasa saya mendadak riuh dengan obrolan-obrolan tanpa ujung. Mulai dari obrolan tentang Afi Nihaya Faradisa, bu Saeni, sampai obrolan tentang guru kami, ust. Tiar Anwar Bachtiar. Obrolan yang juga dilengkapi dengan kabar-kabar menggembirakan lainnya semisal seorang anak SD genius dari bumi Serambi Mekkah yang membuat kita lagi-lagi ‘ditampar’ olehnya, sebab di tengah keterbatasan dirinya, ia mampu berbuat sesuatu demi mewujudkan prinsip dan nilai Pancasila yang teranggit dalam sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab. Lalu, dengan sekonyong-konyong linimasa pun sibuk membandingkan anak tersebut dengan anak lain yang namanya tetap riuh diperbincangkan sebab ia terpanggil untuk diundang ke Istana Negara berjumpa dengan orang nomor satu di negeri ini yang hendak memberi apresiasi atas tulisan-tulisan ‘meneduh’kan dirinya yang dianggap menjadi jawaban atas setiap soalan bangsa yang tak kunjung mendapatkan solusi terbaiknya ketika keberagaman demi keberagaman ini justru mengerucut kepada sesuatu yang konon kapan saja bisa menimpa bangsa ini.
Lalu, ada sosok lain yang mencoba menjawab tanya anak muda itu. Sosok yang mencoba meluruskan setiap pandang dan bengkok yang ia temukan dari tulisan gadis yang kata seorang kawan saya ‘kalau engkau hendak terkenal, kencingi saja sumur zam-zam. niscaya dalam waktu sekejap kau akan mendapat apa yang kau inginkan’. Saya teringat bagaimana jawaban teduh dari anak muda berpendidikan Jerman itu kepada sang gadis. Jawaban yang membuat saya luruh meski akhirnya ada sedikit kurang yang tetap saja tak langsung mendapat benderang untuk soalan-soalan keberagaman kita kali ini. Sebab, seperti yang pernah saya pahami dari buku Mata Air Keteladanan yang dianggit oleh Yudi Latief, ia mengabarkan bahwa teladan keberagaman bangsa ini ada pada para pendirinya yang tidak pernah usai ditimba keteladanannya. Tengok saja pak Natsir dan pak IJ Kasimo, pak Isa Anshary dan pak Aidit yang berteman tanpa ada jeda sedikit pun. Saling bertenggang rasa meski beda di dewan demikian nyata memisahkan jarak keduanya entah secara ideologis atau lain hal. Mereka semua tetap bisa beriringan dan berdamai di meja kantin kantor dewan hari itu sembari menikmati secangkir kopi panas lalu berbincang ringan tentang soal-soal pribadi yang terkadang mengundang tawa renyah seolah lupa bahwa tadi di ruang sidang mereka berdebat panas soal rumusan dasar negara yang hari ini kembali riuh dipertanyakan juga diperbincangkan oleh sebagian mereka yang konon mendadak ‘mualaf Pancasila’.
Hari ini, dalam sekat yang demikian tipis kita seperti melupakan soalan-soalan lain yang lebih penting dari tulisan seorang muda. Soalan sederhana tentang uswah juga kebaikan-kebaikan lain yang dibutuhkan masyarakat. Kita lupa bahwa buta aksara latin maupun Arab di negeri ini demikian memprihatinkan. Sementara, kita yang baru belajar dari dua atau beberapa kabar tak jelas di linimasa lantas jumawa menjadi yang paling terang dalam memberi solusi atas soalan-soalan yang terjadi hari ini. Kita mendadak lupa tentang angka kemiskinan yang demikian memprihatinkan, sementara kita sibuk mencari alasan untuk menyalahkan pihak-pihak mana yang telah membuat kemiskinan di negeri ini demikian nyata mencekik. Padahal, kita tahu rumusan sederhana tentang soalan kemiskinan ini. Ya, tentang memberi juga tentang mengingatkan bahwa tugas negara bukan melawan orang miskin, tapi melawan kemiskinan. Atau soalan pendidikan, kualitas pengajar, juga tatacara mengajar yang berganti-ganti. Lagi-lagi kita sibuk memikirkan siapa yang bersalah, mengapa harus diganti, atau alasan-alasan lainnya hingga soalan-soalan seperti kenyangnya perut para pengajar (kesejahteraan) tetap sibuk kita perbincangkan, meski kita tahu bahwa kecerdasan di negeri ini tidak akan mewujud nyata bilamana kita masih sibuk memikirkan soalan-soalan kekenyangan perut itu, sebab itu sesuatu yang tidak nyambung. Dan hari ini, dari tiga peristiwa sederhana di atas seperti sudah dibabarkan. Seharusnya kita belajar bahwa soalan-soalan keberagaman bukan sekedar soal mempersatukan, juga bukan soal siapa yang paling layak memberi solusi. Sebab hakikatnya keberagaman Indonesia ada pada simpul sederhana yang terkadang kita lupa atau mendadak amnesia untuk mewujudkannya. Sebab, hal-hal sederhana yang sering dilakukan, terkadang menurut nurani masih terasa kurang dirasakan. Entah disadari atau tidak. Tapi, begitulah adanya. Seolah khairunnas anfauhum linnas hanya menjadi jargon belaka ketika ribut-ribut soal keberagaman dan solusi mengatasinya hanya menjadi ingatan utama kita sementara soalan-soalan lain yang lebih penting dari itu tiba-tiba kita buang dari ingatan kita untuk bisa ambil bagian dalam menyelesaikan setiap persoalan itu dengan kadar kemampuan kita. Sementara kita terus melambungkan harap untuk bisa menjadi sesosok pribadi yang nafi’un li ghairihi namun upaya kita seringkali kosong dan tidak ada apa-apanya dalam mewujudkan harapan itu.
Komentar
Posting Komentar