Mengeja Rasa
Pada gerimis itu, aku pernah menaruh misal paling tajam. Membaca banyak catatan gugur hingga usia musim beranjak usai. Kita masih memanen rindu pada senarai waktu ketika gerimis pulang dan mendarat di halaman rumah kita. Membaca sebagian nama kita yang dieja rasa, lalu dibiarkan pulang mengikuti garis takdir yang pernah kita jalani.
Memusuhi gerimis seperti mengeja banyak rindu. Bertutur di pematang hari ketika kata tak terucap. Kita hanya akan saling membilang, lalu membiarkan segala huruf pulang dan mengeja jejak kita yang genjang ini.
Aku selalu suka pada gerimis yang mengeja huruf tentang kita. Membariskan nama kita pada halaman panjang di ujung buku kehidupan kita. Bertanya tentang kita, jodoh, hidup, maut atau bahkan bahagia yang selalu berdenyar di ujung mata kita. Selalu, ada rasa salah yang menghujam dada tiap kali kita berjumpa pada garis-garis kenangan yang menunggu nyata di mata kita. Kelak, takkan pernah ada yang bisa kita ubah dari apapun itu, meski kenangan selalu menjadi warna cantik yang akan mewarnai perjalanan kita hingga esok hari.
Kau tentu belum lupa tentang kita yang tak pernah mengeja rasa. Katamu, rasa kita ini selalu saling-silang dan tak bisa dibaca dengan begitu mudah. Kita akan berbaris pada ejaan-ejaan berikutnya, lalu membaca segala tanda tentang rasa yang tak bisa kita eja. Dan, engkau selalu ada paling depan, bersujud dalam keheningan sepertiga, lalu mencoba untuk merapalkan banyak doa tentang kita dan segala perihal yang membuat kita kian kuat kelak. Kita tak lagi membaca tanda pada ragam bahasa atau kata yang katamu terlalu dihamburkan. Kita hanya akan berbicara tentang rasa yang dulu pernah lupa kita eja.
Padahal katamu, rasa itu semacam huruf yang harus terus kita eja hingga kelak kita sampai pada huruf paling akhir dimana denyar itu selalu ada. Dan rasa akan tetap menjelma menjadi susunan rindu, cinta, atau apalah itu bila pada akhirnya kita tak pernah tahu bagaimana cinta bekerja dengan begitu sempurna untuk menyampaikan apapun tentang hari ini dan rasa yang masih kita eja.
Dulu, kita pernah merangkak dan mencoba untuk berdiri seperti bayi-bayi kecil yang pulang dalam peluk hangat ibunya. Atau kita pernah merasa terancam dari segala uji dan coba dunia, seperti bocah-bocah lelaki yang merengut atau merasa tidak pantas ketika mereka memiliki asa untuk menjelma dalam sosok lelaki pemberani seperti ayahnya.
Kadang, kita hanya membaca halaman akhir buku kehidupan kita. Bertanya tentang bahagia atau duka yang menjelma menjadi rasa, meski seperti kata mereka ‘narasi adalah tempat yang selalu membuatmu pulang terlambat karena harus mengeja huruf lebih banyak’. Namun, suatu kali kita pernah menolak semua itu, ketika ujaran-ujaran paling lambat itu kembali mengulang semua perihal tentang kita dan rasa yang selalu kita eja.
Lalu, pada hujan kita akan mengulang uraian imajinasi tentang kita yang salah dialamatkan. Meski, selalu sendu yang mengulang, dan kita selalu merasa ada jejak gerimis dalam doa-doa sunyi kita. Disana, kita masih akan menenun biru nan cerah pada ujung langit, ketika gerimis membawa pertanda tentang pelangi yang hadir dalam ujung doa kita sendiri.
Dan kita akan benar-benar belajar tentang bagaimana cara kita mengeja rasa sederhana ini.
Catatan Rindu
Komentar
Posting Komentar