[ENERGI LUKA]

Kepada Aus dan Khazraj kita belajar bahwa luka bisa menjadi karat. Menjelma racun yang mengubah kebaikan menjadi keburukan. Seperti halnya Abdullah bin Ubay yang demikian benci kepada baginda Nabi, sebab sang baginda merebut tempatnya untuk menjadi seorang raja. Tumpah ruahlah kebencian dari dalam dadanya. Ia mundur ke belakang berbaris diantara segolongan kaum munafik yang ikut serta dalam perang Uhud. Lelaki itu puas, menyaksikan kaum muslimin kalah perang dari Quraisy. Dan itu terjadi sebab luka di dadanya.

Kepada Buya Hamka kita belajar bahwa luka bisa menjadi karya. Menjelma Tafsir Al-Azhar yang melegenda. Meski ia pernah kalah dalam silang sengketa bersama A. Hassan guru sahabatnya Mohammad Natsir. Namun, Hamka tidak pernah menganggap bahwa luka dari kekalahan itu sebagai sesuatu yang mesti dibalas dengan keburukan pula. Ia justru tampil dengan caranya sendiri. Membasuh dan mengobati luka itu dengan belajar tiada henti agar kelak ia mampu menjadi sosok yang bercahaya seperti guru kawannya tadi.

Kepada Imam Syafi’i kita belajar bahwa luka adalah kesabaran tanpa tepi. Membayangkan dirinya tetap tersenyum manis ketika difitnah, disiksa dan dipaksa berjalan terantai dari kota Shana’a menuju Baghdad.

Kepada Imam Ahmad kita belajar bahwa luka adalah penegasan. Ya, tengoklah punggungnya yang berbilur penuh luka. Dipukuli pagi hingga petang sebab mempertahankan kebenaran adalah wajib hukumnya dan kita tak boleh lari dengan alasan ingin menghindari.

Kepada Khubaib bin Adiy kita belajar bahwa luka adalah kesempatan. Kesempatan untuk tetap bertahan dengan kebenaran yang bersemayam di dada. Kesempatan untuk tidak pernah goyah meski tiang salib menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.

Kepada Fatimah Az-Zahra kita belajar bahwa luka adalah bakti tanpa ujung. Lihatlah bagaimana tangan puteri terkasih Nabi lecet-lecet sebab mesti menggiling gandum saban hari. Sementara sang baginda baru saja pulang perang dengan membawa tawanan banyak. Namun, Fatimah tetap bekerja dalam diam. Memilih untuk mereguk surga lewat petuah-petuah bijak sang ayah.

Kepada Sayyid Quthb kita belajar bahwa luka adalah keyakinan. Lihatlah bagaimana hatinya tak gentar menghadapi tiang gantungan. Sementara para pemimpin di sekitarnya siap mengampuni kesalahannya asalkan ia mau meminta maaf dan mengakui keunggulan sistem yang menghancurkan. Tapi, ia tetap memilih jalan itu. Menjadi sendiri lalu bertumbuh dengan karya-karya yang mengabadi. Meski di ujung perjalanan, ia syahid menggapai surga sendirian.

Kepada Yusuf kita belajar bahwa luka adalah memaafkan. Ketika saudara-saudara tercinta membuangnya ke sumur sebab Ya’qub sang ayah lebih cinta kepadanya tinimbang saudara-saudaranya yang lain. Ia tetap lapang memaafkan setiap salah dari saudara-saudaranya. Juga, ketika Zulaikha memfitnahnya hingga ia dipenjara. Dengan senyum terkenang di wajahnya, ia tetap memaafkannya.

Kepada Utsman bin Affan kita belajar bahwa luka adalah pengharapan baru. Ya, lihatlah ketika ujung perjalanannya berakhir demikian tragis. Dipukul, ditendang, bahkan ditusuk berkali-kali oleh mereka yang tak pernah menyukai jalan kepemimpinannya. Dituding melakukan nepotisme sebab ahli keluarganya dimasukkan ke jajaran pimpinan. Tapi Utsman tetap tersenyum, bahkan ia berdoa semoga apa yang menimpanya tidak lagi menimpa siapapun.

Kepada Abu Bakar Shiddiq kita belajar bahwa luka adalah kuat. Kuat ketika mempersembahkan apa yang menjadi miliknya agar bisa dirasakan umat juga baginda Nabi tanpa kurang suatu apa. Kuat ketika ia dengan teliti mempersiapkan tempat paling nyaman di Gua Tsur kala bersembunyi dari kejaran kafir Quraisy yang hendak membunuh dan menghabisi perjuangan sang baginda.

Dan akhirnya, kepada Muhammad, sang lelaki yang terpuji dan teruji kita belajar bahwa luka adalah harapan. Lihatlah doa sang baginda yang membuat hati siapapun gerimis. Doa yang membuat Thaif batal diazab Allah bersebab harapan sang baginda yang berujar, jangan, mereka belum tahu. Aku yakin, satu hari nanti ada keturunan mereka yang bisa menjadi bagian dari Islam.

Pada titik ini, adakah luka yang menjelma lain di dadamu ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita dibalik Jilbab

Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah

Pilihan Hidup