HAMKA
Lelaki itu bernama Hamka. Ia hidup paripurna dengan beragam uji coba serta pencapaian-pencapaian yang tak mungkin bisa kita capai. Ia besar dan menetap di Muhammadiyah sembari menggambar cita-citanya membumikan Islam sebagai rahmat bagi semesta melalui karya-karyanya yang menakjubkan. Ia pernah merasa lelah dan kalah. Ia pernah menangis tersedu-sedu ketika pelajaran bahasa Arabnya dinilai kurang layak oleh sebagian kalangan bahkan sampai dibahas panjang dalam sebuah majalah. Namun, Hamka menolak kalah dan menyerah. Ia terus belajar dan belajar sembari memperbaiki apa yang salah darinya di kemudian hari. Ia tetap gemilang meski banyak orang yang meragukannya. Ia tetap ada menjelma cahaya dengan jalannya sendiri. Ya, ketika tiran memenjarakannya. Ia tetap sabar dan tabah menjalani semuaya. Sebab, dari dalam jeruji besi, ia merenung panjang. Dan hasilnya, ia lahirkan 23 juz tafsir Al-Qur’an yang kemudian kita kenal sebagai Tafsir Al-Azhar, salah satu kitab tafsir kontemporer yang hari ini masih dijadikan rujukan umat. Ia pernah meradang ketika nama dan karyanya dibabat habis mereka yang tidak suka dengan langkahnya. Lagi-lagi, ia tampil mempesona. Ketika seluruh hinaan, cacian dan pengrusakan nama baik itu mampir ke telinganya. Ia tak bergeming apalagi terbetik dalam hatinya untuk menuntut balas. Justru, ia tampil dengan hati yang bersih, ikhlas dan tetap bening. Ia hadir ketika umat butuh nasihatnya. Ia pergi ketika apa yang menjadi jalannya tak lagi sejalan dengan tiran yang memimpin.
Lelaki itu bernama Hamka. Ia seorang ayah luar biasa bagi Zaki, Rusjdi, Fachri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif juga si bungsu Shaqib. Ia seorang suami sempurna bagi Siti Raham dan Siti Chadijah. Ia terlampau lembut bagi orang-orang seukuran dirinya. Hatinya demikian halus ketika tiran berbuat tak adil kepadanya dan orang-orang yang membencinya tetap menghujatnya tanpa ampun. Namun, pada satu hari ketika diskusi di Taman Ismail Marzuki, lelaki itu ditanya dua pertanyaan sederhana tentang pelarangan buku Pramoedya Ananta Toer serta tentang sikapnya pada apa yang telah dilakukan Pramoedya terhadapnya. Ya, dengan suara tenang ia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu runtut sebagaimana mestinya. Baginya, pelarangan buku adalah jalan salah yang tak boleh ditempuh. Sebab, bila kita tak suka dengan satu buku harusnya dibalas lagi dengan buku. Bukan dengan dibakar atau dilarang. Lalu soal tanya kedua tentang kebencian dan tindakan-tindakan tidak menyenangkan dari lawan. Ia mengaku telah memaafkan semua itu dan mengikhlaskannya. Dan ketika jawaban itu meluncur dari bibirnya. Ia tetap gagah dan tenang. Ya, hari itu suasana Taman Ismail Marzuki mendadak hening. Ratusan pasang mata yang menyaksikan dirinya dibuat tak berkedip. Banyak air mata mengalir menyaksikan keikhlasan dan kelapangan hatinya memaafkan semua yang terjadi termasuk novelis Iwan Simatupang yang duduk tak jauh dari penyair Taufiq Ismail. Padahal, bertahun-tahun ia, anak dan istrinya disakiti tanpa ada jeda untuk beristirah.
Tapi, lelaki itu telah membuktikan hasil belajarnya. Kalah bukanlah alasan untuk kita berhenti memberi yang terbaik bagi siapapun. Kalah adalah media untuk kita terus belajar dan memperbaiki diri hingga pada satu masa kita tetap tegak menjadi sang pemenang dengan tebaran manfaat dan maslahat yang tak pernah berkurang sedikit pun dari para pemenang yang pernah mengalahkan kita. Dan lihatlah, lelaki yang kita kenal Buya Hamka itu. Ia tetap mengaku kalah dari Tuan Hassan. Dan ia terus belajar hingga pada satu waktu, kita berjumpa dengannya sebagai seorang pemenang yang karya-karyanya tetap benderang sampai hari ini bahkan mungkin sampai putaran bumi ini berhenti. Ah, adakah kekalahan yang nilainya jauh menakjubkan dari kekalahan seorang Hamka dalam menilai gagal tidaknya hidup ini ? Apakah kita masih bisa belajar sekalipun kalah sering membuat kita takut untuk tetap bisa bangkit dan bercahaya di kemudian hari ?
Komentar
Posting Komentar